12. Innocent

19.8K 1.8K 199
                                    

"Uhhh... rasanya seperti habis mabuk kecubung," gumam Ava begitu ia bangun dari tidur panjangnya di siang hari, tepatnya di jam sepuluh pagi.

Matanya terasa berat, Ava membawa tangannya untuk mengucek. "Kepalaku agak sakit," ia lalu melihat ke sekeliling kamar yang sepi lalu memutuskan untuk membersihkan diri dan turun.

Namun di tengah langkahnya menuju kolam mandi yang ada di kamar, seorang pelayan datang dan mengetuk pintu ruangannya.

Tok tok tok!

"Ada apa?" disahutinya ketukan itu dengan jawaban lesu.

"Yang Mulia, saya diminta mengantarkan pakaian anda." Ucap si pelayan memberitahu.

"Pakaianku? Untuk apa?"

"Anda akan pergi menemani Yang Mulia siang ini." Jawab pelayan itu.

"Yang Mulia? Yang Mulia yang mana?" tanya Ava dalam hati sebelum memutar arah langkahnya menuju pintu dan membukanya.

Pelayan itu lalu menyerahkan tumpukan gaun berwarna hitam dengan berbagai model ke atas tangan Ava saat gadis itu mengulurkan kedua tangannya.

"Pangeran Zafar meminta saya menyampaikan kalau Nona hanya diperbolehkan memakai pakaian hitam saat ikut bersama beliau ke suatu acara." Jelas perempuan itu lalu pamit. "Saya permisi, salam hormat Yang Mulia."

Ava mengangguk lalu memasang ekspresi jengkel di wajah. "Hitam? dikiranya aku mau pergi ke pemakaman?" sambil merotasikan matanya malas Ava kembali ke dalam dan mulai membongkar seluruh lipatan yang ada.

Tangan Ava lalu terangkat menggaruk sisi wajahnya, ia membawa satu gaun lalu pergi menuju kolam mandi. Rasanya benar-benar seperti terkena kutukan sial seumur hidup!

Mau protes tapi, bagaimana!?

Entah pertemuan macam apa yang akan didatanginya.

Oh, tolong realitis saja. Jangan suruh Ava untuk memodifikasi gaun atau semacamnya, itu terlalu repot untuk dilakukan dan mustahil selesai dalam waktu singkat. Memangnya ini film!?

Ava hanya bisa menghela nafas kasar dan berharap nasibnya berubah jadi lebih baik dari ini. Setidaknya Ava sekarang hidup di istana dan jauh dari ayahnya yang gila. Pria itu pasti sedang menikmati harta yang pihak kerajaan beri padanya.

Setelah cukup dengan bersih-bersih diri, Ava bergegas merapihkan rambut serta mengemasi wajahnya yang persis seperti orang habis mukbang kecubung. Ia lalu keluar dari dalam kamar, satu-satunya kamar yang ada di lantai enam lalu turun.

Tadinya ia berharap semoga tidak bertemu dengan Zafar tetapi, nyatanya pria itu sudah menunggu dan Ava tidak sempat sarapan atau bahkan melihat ke arah meja makan.

"Aku lapar..." gerutunya dalam hati tetapi, Zafar sudah siap di depan pintu.

Ava melihat ke sekeliling yang sepi, mungkin semua orang sedang menjalani aktivitasnya masing-masing. Ia lalu berjalan lebih cepat menghampiri Zafar dan pria itu langsung berbalik, berjalan cepat menuruni anak tangga lalu naik ke kudanya tanpa kata.

Sedangkan Ava ditinggalkan namun, ia cukup paham untuk segera masuk ke dalam kereta kuda dan duduk dengan tenang di dalam sana.

"Nasib sial...!" gerutunya lagi.

Ava hanya bisa melihat ke luar jendela sesekali lalu mendapati Annelise dari kejauhan yang melambaikan tangan dengan semangat sambil tersenyum lebar padanya.

"Nasibnya akan lebih beruntung nanti, ada baiknya aku tidak perlu ikut campur atau berusaha mengubah takdir seseorang disini." Gumam Ava pelan, ia cukup yakin Annelise hanya perlu bersabar sedikit lagi sampai cinta Sebastian yang besar datang menghujaninya.

How To Survive From Sebastian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang