14. Shoes

17.9K 1.7K 129
                                    

Warna langit sudah berubah jadi hitam pekat saat Ava berlari keluar dari tempat pertemuan sampai-sampai menjinjing kedua sepatunya agar langkahnya tidak mendadak terhenti karena hak patah.

Masabodo jika kakinya sekarang kotor terbalut oleh lumpur yang berasal dari tanah lunak basah karena semalam sempat turun hujan sebentar dan hari ini matahari tidak terlalu terik.

Ava merasa benar-benar dipermalukan, sudah tak dianggap sebagai istri dan ditegaskan seolah dirinya sungguh berasal dari kasta pelacur rendahan yang berpindah dari satu tempat hiburan ke tempat yang lain, yang membuka bajunya untuk para pria, yang menjajakan tubuhnya untuk disentuh, ditiduri, dipakai beramai-ramai, atau bahkan di siksa oleh kliennya yang menganut hardcore.

Tap! Tap!

Mendengar langkah kaki mendekat, Ava berlari sekencang mungkin. Meski besar kemungkinan yang menghampirinya adalah seseorang yang dikenal, Ava lebih memilih menjauh sejauh mungkin karena saat ini harga dirinya benar-benar jatuh ke bawah karena Zafar.

Pria yang berstatus sebagai suaminya sendiri menamparnya di depan semua orang.

Bukankah itu sama saja mempermalukan dirinya?

Bukan sama lagi tapi, memang.

Ava telah dipermalukan.

Karena itu, rasanya untuk bicara dengan orang lain—membayangkannya saja sudah sangat menguras energi. Jadi, Ava memilih lari. Tak peduli telapaknya menginjak batu kerikil atau bahkan duri dari tanaman rumput liar. Ava hanya ingin sendiri untuk saat ini, mentalnya kena.

Hanya saja lama kelamaan ia kehilangan keseimbangan atas dirinya sendiri dan nyaris tersungkur ke depan dan mencium tanah air dengan khidmat kalau saja sebuah tangan tak mencengkram lengannya dengan kuat serta menahannya sehingga batal bersilahturahmi dengan hambarnya rasa tanah.

"Ava!" untuk kali kedua namanya diteriaki oleh dua orang yang berbeda. Setidaknya yang kali ini terasa tidak semenyesakkan tadi, saat Zafar meneriakinya lalu melamparnya dengan kejam.

"Ada apa denganmu!?" pertanyaan itu lebih terdengar seperti bentakan.

Sebastian tahu bahwa dirinya saat ini sedang dicari oleh sang ayah dan dengan sengaja ia memilih menghabiskan waktu diluar sambil menunggu mangsanya datang dan ia sempat mengira gadis yang berlari diantara gelapnya malam ini merupakan calon korbannya namun sayangnya gadis itu adalah Ava sehingga Sebastian terpaksa menyimpan niatnya.

Ava menolak menjawab, sekuat tenaga ia mencoba melepaskan cengkraman Sebastian dari lengannya namun gagal karena terlalu kuat. Pemuda itu tidak akan melepaskannya begitu saja sebelum memberi jawaban atas pertanyaannya barusan.

"Semua ini salahmu, lho!" pekik Ava menjawab dengan amukan. "Dan bisa-bisanya kau masih tanya ada apa padaku!?"

Mulanya kening Sebastian mengernyit, ia tak paham sampai cahaya rembulan menyinari wajah Ava dan terpampanglah dengan jelas cetakan bekas tangan besar milik seseorang di pipi kiri gadis itu.

"Siapa yang--"

"Menurutmu aku menampar wajahku sendiri?" potong Ava ketus, entah keberanian dari mana yang didapatnya secara mendadak hingga berani menyela Sebastian.

"Ava, jangan menangis..." namun Sebastian tidak marah kali ini, ia prihatin dan menyentuh bekas tamparan itu dengan hati-hati. "Zafar melakukan ini padamu?"

Tak ada jawaban dari Ava, nafas gadis itupun naik turun. Emosi yang didominasi oleh rasa kesal dan sakit hati terlihat jelas dimatanya sampai kemudian tawa Sebastian menggelegar.

"Pfttt, tamparan yang kau dapat bahkan tak sebanding dengan yang pernah kudapat dari ayahku. Tapi, kau...pfttt, kau menangis dengan begitu mudahnya? ejek pemuda itu seraya mengusap sudut matanya yang basah.

How To Survive From Sebastian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang