"Yang Mulia, kami minta maaf. Seluruh wilayah Orpheus telah kami geledah sampai ke titik hutan namun..." prajurit itu semakin menundukkan kepalanya lalu menambahkan laporan, "Nona Ava tidak ditemukan. Tidak ada seorangpun juga yang pernah melihatnya di sekitar wilayah pemukiman."Sebastian membawa kuku ibu jarinya untuk digigit hingga patah dan mengeluarkan darah. "Bagaimana mungkin?" tanyanya persis seperti antara orang marah dan frustasi di satu waktu yang sama.
"Bagaimana mungkin kalian tak bisa menemukannya!?" amuk pemuda itu bertanya lagi.
"Ampun, Yang Mulia." Prajurit yang melaporkan langsung bersujud ditempat, takut sesuatu terjadi pada dirinya karena memberi laporan yang tak sesuai dengan keinginan pemuda itu.
"Kami akan menyisir area perbatasan sekali lagi, kami akan menemukan keberadaan Nona Ava secepatnya." Tambahnya.
"Carilah," desis Sebastian emosi. "Cari sampai dapat!"
Kepalanya mulai berdenyut, berpikir keras mencoba menebak dimana keberadaan Ava saat ini. Perempuan itu tiba-tiba kabur dan hilang tanpa jejak. Dia mungkin masih di Orpheus tapi dalam persembunyian, kalau sudah begini ia sendiri harus turun tangan mencari.
"Sial!" umpatnya sesaat sebelum bangkit dan berjalan cepat meninggalkan ruang takhta.
"Kemana dia pergi?" Sebastian masih terus menggigit kuku ibu jarinya yang satu lagi hingga kembali membuat kuku itu patah dan menggores permukaan lembut daging tangannya hingga berdarah.
Hari menjelang malam saat Sebastian tetap tidak bisa menemukan dimana keberadaan Ava. Perempuan itu hilang, membuatnya jadi seperti orang hilang arah dan akal.
Sebastian mengacak pelan rambutnya, ia berjalan sendiri di tengah gang-gang sepi sambil berharap bisa menemukan Ava namun perempuan itu tidak ada di satupun gang yang ia lalui bahkan di gang pertama kali mereka bertemu.
"Aku tidak bisa menemukannya, aku tidak bisa menemukannya..." gumam Sebastian berulang, ia masih disana dan mulai menendang tiap tong sampah kaleng yang dilewatinya hingga berserakan.
"Dimana dia?" decakkan demi decakkan terus keluar dari belah bibir Sebastian, pemuda itu berakhir memukul batang pohong dengan keras hingga melukai punggung tangannya sendiri.
"Pangeran--ah, maaf. Maksud saya, salam hormat kepada Yang Mulia Raja." Seorang wanita berumur lanjut nampak membungkuk diantara kegelapan pada Sebastian.
Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, Sebastian menyeringai setan dan balas menyapa wanita itu. "Selamat malam, Nyonya. Mengapa anda masih berada diluar saat warna langit sudah berganti menjadi hitam?"
"Yang Mulia, saya..."
Sebastian memindahkan pandangan pada kedua tangan perempuan itu yang terlihat penuh, memegang masing-masing kantung kain besar entah berisi apa tetapi ia langsung mengambil kesempatan untuk membantu wanita itu dengan mengangkat langsung kantung-kantung itu.
"Biar kubawakan," Ucapnya sehingga tidak memberi kesempatan bagi lawan bicara untuk menolak.
"T-terimakasih, Yang Mulia."
Tidak ada sahutan dari Sebastian, ia hanya tersenyum dan berjalan di belakang wanita itu dengan maksud terselubung dibalik senyum itu. Maksud yang sudah tidak perlu dijelaskan lagi mengarah pada apa.
"Yang Mulia, rumah saya--"
"Ya, tunjukkan saja. Aku berada tepat di belakangmu." Sebastian menyahut sambil meletakkan satu kantungnya di tanah dan mengeluarkan pisau kesayangannya dari balik saku.
"I-iya, Yang Mulia." Wanita itu menjawab dengan nada kaku, dia belum pernah bertemu dengan Sebastian secara langsung bahkan saat pemuda itu masih berstatus sebagai Pangeran Mahkota.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Survive From Sebastian
FantasySetelah meninggal karena bunuh diri dan dihidupkan lagi sebagai Ava Eulalie-seorang figuran novel yang dibunuh pada bagian prolog karena memergoki aksi pembunuh berantai yang tak lain dan tak bukan ialah Pangeran Mahkota Sebastian Calliope. Kini ia...