Romansa - Spiritual - Abdi Negara
Arshaka Farzan Ghaziullah El-Zein adalah seorang Perwira Polisi berpangkat Ipda. Terlepas dari profesinya, Farzan juga merupakan laki-laki yang memiliki pemahaman agama baik dan hafidz quran.
Suatu kejadian membuat...
Ini part terakhir yang benar-benar terakhir di Lentera Takdir. Aku harap kalian mau luangkan waktu untuk kasih vote dan komen terakhir di cerita ini sebagai bentuk dukungan kalian.
Aku yakin kalian orang baik yang menghargai cerita ini dengan kasih vote komen untuk yang terakhir kalinya🥹
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara sirine ambulan sempat menghebohkan rumah sakit kala orang-orang mendengar kabar bahwa seorang polisi tertembak dan istrinya yang sedang hamil juga mengalami pendarahan.
Keesokan paginya, kembali terdengar suara sirine yang memecah keheningan pagi. Tapi ini bukan lagi sirine ambulan, melainkan sirine mobil polisi. Tak lama kemudian, dua orang anggota polisi tak berseragam keluar, mereka mengambil kursi roda dan membantu seorang laki-laki duduk.
Seorang laki-laki bertato dan berambut gondrong duduk di kursi roda sambil merintih kesakitan setelah kedua kakinya tertembak pistol polisi saat mencoba melarikan diri. Ia didorong oleh suster sedangkan di sisi kanan, kiri, depan, dan belakangnya dijaga ketat oleh anggota polisi.
Ya, dia adalah ketua geng motor yang menembak sadis Ipda Farzan. Setelah melakukan pengejaran, polisi berhasil menangkapnya.
"Ngapain dia—"
"Sabar, Van." Dhafi langsung menarik tangan Devan yang sedang emosi saat melihat pemuda itu.
"Nggak bisa, Van. Gara-gara dia, Komandan kita—"
"Udah, lagian lo mau ngapain? Lo nggak boleh menghakimi dia gitu aja. Biarin dia dibawa ke UGD dulu. Lukanya harus diobati." Dhafi memperingatkan. "Udah, ayo kita lihat kondisi Komandan." Tanpa basa-basi, Dhafi menarik tangan agar karibnya itu tidak melewati batas.
******
Dua hari kemudian.
Di sisi lain, Aliza sedang duduk termenung sambil bersandar di atas brankar. Tatapannya tampak kosong, wajahnya pucat, sedangkan tangannya mengusap-usap perut ratanya. Ada rasa sesak yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Rasanya sakit, tapi melebihi itu masih ada rasa bersalah menyeruak memenuhi dirinya.
"Maafin Bunda ya, Sayang," ucapnya lirih sambil memejamkan mata.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara decitan pintu dan langkah kaki semakin mendekat ke arah brankar Aliza. Bunda Syafiya, perempuan paruh baya itu menghampiri menantunya dan mengusap-usap lengannya penuh sayang.
"Nak, jangan terus-menerus menyalahkan dirimu sendiri ya, Sayang," ujar Bunda Syafiya.
Aliza menggeleng, air matanya terus menerus jatuh membasahi pipi. "N-Nggak, Bunda. Ini salah Aliza yang nggak hati-hati."