happy reading, readerss💓💓
***
Waktu berlalu cepat. Hari kelulusan di jenjang menengah pertama sudah terlewati, dan Megan menjadi murid terbaik dengan nilai tertinggi, paling banyak mencetak prestasi dan menorehkan kebanggaan.
Hari di mana cerita baru akan dimulai tiba. Pagi ini Megan akan berangkat ke sekolah baru, bertemu orang-orang dan lingkungan baru, gadis itu juga mendapati dirinya lebih tenang dan terkontrol, terutama dalam mengontrol ekspresi dan perasaannya agar tidak mudah ditampakkan.
Megan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sibuk mengaplikasikan rangkaian morning skincare routine-nya, sementara rambut indah sepunggungnya itu disisiri dengan telaten oleh seorang wanita muda berusia 25 tahun, her personal servant, Hannah. Wanita itu sudah bersama Megan dan Diana sejak sepuluh tahun yang lalu. Ibunya membawa Hannah dari tanah kelahirannya, England, ke Indonesia untuk mengabdi kepada satu-satunya penerus keluarga Espinoza yang akan menjadi nyonya besar di kemudian hari—Megan.
Diana juga memiliki personal servant bernama Poli. Wanita berusia 40 tahun yang berasal dari Italia—dulunya sebelum memilih ikut menetap di Indonesia, Poli adalah salah satu servant di mansion Espinoza. Wanita itu telah mengurus dan merawat Diana dari berusia enam tahun. Atas dasar kesetiaan, Poli mengikuti Diana. Tentu saja atas izin Claudine.
"You're ready, my Lady." Hannah menatap Megan dengan penuh kasih.
Megan tersenyum manis. Rambutnya yang sudah diberi rangkaian hair care oleh Hannah itu tampak berkilau sehat. Perasaannya juga makin senang begitu melihat hasil morning skincare-nya memuaskan hati. Selalu memuaskan, sih, tapi tetap saja ada kesenangan tersendiri.
Megan ini tipe gadis yang sangat suka memakai skincare and sheet mask. Rajin dan teratur sekali dalam pemakaiannya. Namun, tidak terlalu akrab dengan make up, bahkan loose powder bayi.
Let's make this clear before judge her. Menurut gadis itu personally, kalau menggunakan make up itu wajahnya jadi kinda heavy. Mungkin orang lain tidak merasakan, tapi Megan sangat merasa tidak nyaman ketika menggunakannya. Ia juga memiliki alasan kenapa tidak ingin memakai loose powder, dia kurang suka karena taburan bedak di wajahnya membuat gadis itu terlihat sangat pucat—Megan memiliki kulit putih yang nyaris menyamai putihnya susu, benar-benar putih pucat. Kecuali, jika ada acara sangat penting agar wajahnya ini tidak terlalu white pale dilihat, baru Megan mau memakai sedikit sentuhan make up. She prefers to Korean look.
Bukan sok mau jadi pick me girl or something like that, tapi selera dan bagaimana sudut pandang tiap orang dalam menilai sesuatu itu berbeda. Tidak bisa atau tidak suka memakai make up, bukan berarti mau dengan sengaja membedai dari yang lain. Mari bersama menormalisasi perempuan yang tidak suka make up sebagai sesuatu hal yang wajar. Itu hak setiap perempuan, mau atau tidak memakai make up. Don't judge others by their own choices.
Megan melirik sekilas ke arah Hannah yang kini memakaikan lip balm kesayangan Megan dan memolesnya di bibir gadis itu dengan perlahan. Salah satu rangkaian lip care-nya yang tidak boleh absen. Of course, to maintain moisture and lip color to keep it healthy pink.
"My Lady, you're perfect and pretty as always."
"Thank you, Hannah."
Megan bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar kamar terlebih dahulu. Beberapa menit setelahnya, Hannah menyusul setelah selesai merapikan peralatan perawatan diri sang nona.
Megan melangkahkan kakinya menuju dapur. Di mana Diana ditemani oleh Poli tengah sibuk menyiapkan sarapan. Ibunya memang selalu menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk Megan. Karena takaran porsi isi piringku yang sesuai bagi tubuh Megan, hanya Diana yang bisa memperkirakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Megan
Teen Fiction"You must keep your honor, Megan." Usaha Megan untuk tetap menjunjung tinggi harga diri, dengan tidak mudah meletakkan hati pada sembarang laki-laki. Tentang ambisi gadis itu untuk tumbuh menjadi seorang lady yang sempurna dalam segala hal, dan meng...