Chapter XXXII

55 10 13
                                    

happy reading, my dear readers🧸🥛

***

Megan dan Hannah saling pandang, sebelum memutuskan untuk turun dari mobil. Di teras yang tersedia bangku kayu berwarna putih, tampak diduduki oleh Diana yang tengah memakai gaun putih panjang dengan membiarkan rambut kuning keemasannya tergerai lurus. Wanita itu duduk menekuk kaki dengan anggun, tangannya ia letakkan di pangkuan, sementara pandangannya lurus ke depan.

Megan menunduk, menyadari kesalahannya amat sangat besar kali ini. Dia telat dua jam, dua jam dari perizinan Diana.

"I'm sorry, Mother."

Megan membungkuk 90 derajat untuk memberi penghormatan tertingginya pada Diana. Gadis itu lantas bersimpuh mencium kedua tangan sang ibu yang bertaut. "I'm sorry, Mother. Sorry, I'm sorry, sorry, Mother. I'm sorry, Mother."

Di sebelah gadis itu, berdiri Hannah yang sejak tadi masih membungkukkan tubuhnya 45 derajat. Perempuan itu seolah tidak lelah dengan posisi tubuhnya saat ini, sebab maaf dari Diana lebih utama dibanding kesehatan tulangnya.

"Sorry, Mother. I'm sorry. Sorry. Sorry, Mother. I'm sorry. Sorry. Sorry. I'm sorry, Mother."

Megan sampai terisak pelan begitu Diana tidak memberi respon apapun. Gadis itu merasa sangat bersalah, seolah membiarkan kepercayaan Diana padanya hilang begitu saja.

Ketakutan akan dimarahi tidak lagi ada dalam hatinya, Megan justru ingin dimarahi oleh ibunya itu, daripada didiamkan seperti saat ini.

Megan kecup lama-lama punggung tangan Diana, sang ibu tercinta. Tangan wanita itu dingin, menambah perasaan bersalah dalam diri Megan. Apalagi alasannya telat ialah karena laki-laki, di mana Diana amat sangat menentang Megan untuk tertarik kepada lawan jenis.

"I'm sorry, Mother. Sorry. I—I disappointed you, Mother. Sorry. I'm so sorry. Sorry. Sorry. Mother, I'm sorry. I'm sorry, Mother."

Isak tangis itu kian kencang, Megan makin terisak kuat. Ia sampai mendongak menatap Diana. Ibunya itu masih memandang lurus ke depan. Megan genggam kuat-kuat tangan sang ibu, ia ciumi lama-lama, berulang-ulang, sambil terus matanya yang berlinangan air itu menatap ke arah Diana.

"Mother—"

"You disappointed me, Megan."

Megan memejamkan matanya. Hatinya kian pilu. Ia merasa sangat bersalah pada ibunya. Berbohong. Melanggar aturan penting. Bahkan ia berniat mengada-ada cerita mengenai alasan keterlambatan pulangnya.

Megan menunduk, ia sembunyikan wajahnya di pangkuan Diana, sementara dua tangannya ia dekap erat pinggang ramping Diana.

"I'm sorry, Mother. Sorry. Sorry. Sorry. Mother, I'm sorry. I'm sorry. Sorry. Mother, sorry. I'm sorry. I'm sorry, Mother."

"Why you did this to me, Megan? Why you disappointed me? Why ..., why my dear Megan?"

Meski yang keluar dari bibir Diana adalah suara dinginnya, tapi Megan dapat merasakan kekecawaan wanita itu.

"I—I'm sorry, so—sorry, Mother."

"I don't get it, why you disappointed me? I don't get it, my dear. I don't get it."

Mendengarnya, Megan sampai kesulitan bernapas dan menelan saliva. Keduanya seolah tertahan di kerongkongan, dan sesuatu seolah mencekik leher serta menimpuk dadanya kuat-kuat. Fakta bahwa Diana ia buat terluka, bahwa ibu tercintanya ia buat kecewa dan ia bohongi pula—hanya karena seorang laki-laki.

"I'm sorry. I'm sorry. I'm sorry, Mother. I'm sorry. Sorry. Sorry. Sorry. Sorry. I'm sorry, Mother."

"11.00 a.m. Is it too late, right?"

MeganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang