Chapter XXXV

7 1 0
                                    

percakapan antara orang-orang di rumah Diana ini dalam bahasa Italia. Eer tulis dalam bahasa Indonesia demi kenyamanan bersama, dengan menggunakan kata-kata baku tentunya🕊🤍

happy reading, my dear readers🧸🥛

***

Jemari lentik Megan mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja. Satu tangannya yang lain memijat kening. Ia sedikit kesulitan memahami materi pembagian kekuasaan, hak tanah, dan sebagainya ini. Terlalu rumit dan berbelit, she prefers to Matematic subject.

"Kepalaku rasanya sedikit berguncang, otakku masih kewalahan memahami tanah. Biasanya aku meneliti unsur apa saja yang ada di tanah, sekarang harus kubagi-bagi ke tiap keluarga."

Megan menghela napas. Ia lirik laki-laki muda di sebelahnya. Sejak tadi lelaki itu hanya diam setelah menjelaskan mengenai tanah dan segala urusan pembagian kekuasaannya.

Karena dikejar deadline berupa kepulangan Claudine ke mansion, membuat lelaki itu memberitahu Megan secara berkala. Tiap satu lembar berisi permintaan persetujuan atau perizinan dari keluarga lain kepada nyonya besar, lelaki itu akan menjelaskan perkara-perkaranya. Nah, setelah itu baru Megan akan menandatangani atau tidak, tergantung analisanya sendiri dengan tetap memikirkan risiko-risiko dari apa yang telah dijelaskan si laki-laki muda itu.

"Kau pasti bisa, Nona. Jika dikerjakan tanpa mengeluh, akan cepat selesai."

Megan menoleh ke arah laki-laki itu. "Louis Voscoe Frederic. Namamu bagus."

"Terima kasih. Silakan dilanjut menandatangani berkas-berkas perizinan tersebut, Nona Megan."

"Sudah satu jam aku di sini, tanpa henti kubaca satu persatu surat-surat itu. Bisakah kuminta waktu beberapa menit untuk mengistirahatkan kerja otakku, Tuan Frederic?"

"Tentu kau bisa, Nona. Kuberi waktu lima menit, terhitung sejak kau berkata kepalamu berguncang."

Megan menyipitkan mata. "Lalu, sisa berapa menit waktuku beristirahat?"

"Dua menit."

"Ah, begitu .... Omong-omong, berapa banyak lembar yang sudah kubereskan, Louis?" Nada bicaranya sedikit santai, sebab pria muda bernama Louis itu tidak terlalu kaku juga dalam mengobrol.

"Enam lembar, Nona."

Megan memejamkan matanya. "Masih ada 94 lembar lagi, ya?"

"Iya, Nona."

"Astaga, Louis. Kepalaku benar-benar seperti ingin meledak."

"Saya punya beberapa lilin aroma terapi, Nona ingin saya letakkan lilin itu di sini? Supaya lebih santai dan tidak merasa tertekan dengan surat-surat tersebut."

Megan kembali menghadapkan kepalanya ke depan. Ia menggelengkan kepalanya. "Nanti saja. Aku masih ingin bertanya padamu."

"Apa itu, Nona?"

"Kau lulusan strata 3?"

"Iya, Nona."

"Strata satu kau lulus di universitas mana?"

Louis menatap nonanya, tepat di manik turquoise Megan yang memandang lurus ke depan. "Kenapa bertanya seperti itu secara tiba-tiba, Nona?"

"Jawab saja, Louis."

"Stanford."

"Strata duamu?"

"Harvard."

"Lalu, gelar doktor dan PhD-mu itu kau dapat di universitas mana?"

MeganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang