Chapter XVII

47 6 0
                                    

happy reading, my dear readers🧸🥛

***

Wanita paruh baya dengan tinggi semampai dan rambut hitam yang diikat satu dengan rendah memasuki kelas 10 IPA 1. Di tweed blazer berwarna merah muda pada bagian dada kiri atas, tergantung nemetag bertuliskan Rina Damayanti R., S.Psi., M.Psi dengan jelas. Dengan ditemani Mita selaku wali kelas, keduanya kini berdiri menghadap seluruh murid di kelas itu.

"Halo semua, saya Rina Damayanti R., saya akan memakai waktu satu jam kalian di pelajaran Matematika Wajib, karena saya ingin menyampaikan beberapa hal. Mohon keikhlasan dan ketersediaannya dalam hal ini, agar apa yang saya sampaikan bisa bermanfaat bagi kalian." Wanita itu tersenyum ramah sembari menatap satu per satu wajah siswa-siswi di hadapannya.

Mita mengangguk. "Mohon diperhatikan dengan baik apa yang akan ibu Rina sampaikan. Sekalian saya juga ingin memberitahu kalau saya dan guru Matematika lain ada pelatihan di luar kota selama beberapa hari, jadi kepada ketua kelas, Kyle, mohon diimbau teman-temannya agar dapat mengerjakan tugas yang akan saya kirimkan melalu pesan pribadi pada kamu, yang kemudian kamu sebarkan ke teman-teman sekelas. Deadline akan saya beritahukan nanti. Mohon jangan ribut juga, ya. Seksi keamanan, Ruth, kalau ada yang ngobrol sendiri, catat dan kirimkan ke saya secara pribadi. Untuk perhatiannya saya ucapkan terima kasih, permisi." Ia melangkah keluar kelas segera setelah pamit pada Rina.

Rina melangkah ke meja guru, meletakkan tas jinjing putihnya. Meletakkan satu tangannya di meja, lalu menghadap seisi kelas. "Pagi semua."

"Pagi, Bu!"

"Di zaman seperti sekarang ini mudah bagi kita semua menjumpai orang berpacaran, bukan? Namun, yang menarik dari melihat orang-orang berpacaran adalah ketika kita mendapati yang perempuannya 'terlihat' sangat bermanja ria dengan pacarnya. Mungkin, hal-hal seperti berpegangan tangan, merangkul, menggandeng, si laki-laki merapikan anakan rambut yang perempuan, terlihat sepele dan masih dalam batas wajar. Beberapa ada yang mewajarkan sikap seorang laki-laki memeluk perempuan hanya karena status pacaran yang dimiliki dua belah pihak, bahkan menganggap 'masih' dalam batas wajar ketika keduanya kissing each other." Rina menatap seluruh pasang mata di hadapannya yang kini melemparkan tatapan beragam. Ia tersenyum tipis setelahnya. Topik yang ia bahas hari ini memang sedikit sensitif.

"Tapi, mari anggap hal-hal yang saya sebutkan tadi adalah hal normal dan wajar karena mereka pacaran, kecuali yang terakhir. Yang menjadi permasalahan adalah, apabila perlakuan seperti itu dilakukan tiap saatnya, perempuan akan merasa dirinya memiliki 'tempat' untuk memuaskan keinginan masa kecilnya. Dimanja ria dengan laki-laki yang baru berstatus sebagai pacar. Itu bukan hal baik, teman-teman 10 IPA 1."

"Beberapa kasus yang saya tangani, para perempuan yang datang pada saya untuk mengobati luka hebat di hatinya, mereka mengaku kalau mereka begitu mempercayakan cinta tulusnya pada seorang laki-laki yang bahkan belum dalam batas umur legal. Terus terang, itu bodoh, sangat bodoh. Pemerintah memercayakan KTP pada kita saja ketika kita sudah berusia legal, teman-teman."

Rina tersenyum lembut sambil menautkan dua alisnya. "Namun, pemikiran saya langsung berbalik ketika mendengarkan cerita mereka secara menyeluruh. Hampir semua, di antara 10 orang ada 9 orang yang memiliki masa kecil kelam. Luka lamanya belum sembuh, masih teringat perkataan-perkataan yang menyakitkan dari orang-orang sekitar, bahkan juga orang tua sendiri. Ketidakpercayaan, tidak boleh memilih sesuatu atas keinginannya sendiri, kurang kasih sayang, tidak diperhatikan, dan tidak mendapat perhatian dari orang tua, terutama bagi anak perempuan yang tidak diberi perhatian oleh 'ayah'."

Jantung Megan berdegup kencang hanya dengan mendengar kata terakhir dari Rina. Matanya memanas, seolah satu kata itu sangat berdampak luar biasa padanya.

MeganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang