happy reading, my dear readers🧸🥛
***
Megan memasuki ruangan bertuliskan 'Ruang Bimbingan Konseling' yang terpajang di atas pintu kaca buram itu. Dorothy—salah satu teman sekelas Megan—memberitahukannya kalau bu Viola selaku guru BK memanggilnya.
Di sini lah dia sekarang. Di ruangan yang di dominasi warna putih gading dan hitam. Di hadapannya seorang wanita paruh baya berbadan sedikit gempal dengan kacamata bulat yang terpampang di depan mata, dan name tag bordir bertuliskan Viola Aprilia Sarah di baju dinas bagian dada kiri.
Beliau sibuk membaca bolak-balik lima lembar poster. Di belakang wanita itu berdiri para anggota jurnalistik dari tiga angkatan. Termasuk kakak kelas ekskul berkuda yang dipanggil 'Dhe' oleh Iqbal, dan juga Nita. Mereka mengangkat dagu angkuh sembari menatap Megan hina.
Lucu sekali.
"Saya baru aja sampai ke Jakarta tadi malam. Habis capek-capek pelatihan di Jogja, bukannya langsung bawa istirahat, saya malah ditelpon salah seorang siswa. Melapor kalau ada siswi baru yang dirundung anak-anak jurnalistik." Viola merapikan letak kacamatanya.
Megan terdiam untuk beberapa saat. Siapa yang melapor? Ketiga temannya sudah Megan larang untuk tidak melaporkan kejadian yang lalu pada guru atau petinggi sekolah. Gadis itu tidak ingin menarik simpati guru-guru.
Viola membaca kembali informasi yang terletak di selembaran poster yang sepuluh hari lalu Megan lihat. Kedua alisnya sesekali mengerut dalam ketika membaca kata demi katanya.
"Mayat hidup."
"Mayat hidup."
"Mayat hidup."
Viola terus merapalkan dua kata tersebut, seolah sedang menyebutkan mantra. Megan merasa risi, tentu saja. Apa-apaan itu?
"Kita bahas satu-satu, ya. Megan, apakah benar kamu memanfaatkan kecantikan untuk bisa berada di kelas advanced?"
"Tidak benar."
"Tanggapan dari anggota jurnalistik?"
"Kami hanya berusaha membongkar alasan kenapa kelas piano dan violin bertambah satu, lalu Megan langsung masuk kelas advanced dan dilatih oleh coach khusus seorang diri. Itu sedikit mencurigakan. Apa sekolah hanya ingin menampilkan yang cantik saja ketika pentas seni akhir tahun nanti? Mengingat SMANDA akan mengundang banyak sekolah sebagai tamu." Papar Adelia Tur Paramitha, sang ketua jurnalistik.
"Saya juga penasaran." Viola memicingkan mata pada Megan. Gadis itu tidak gentar, dia tidak salah.
"Lanjut. Nilai tertinggi hasil orang dalam?"
"Tidak benar."
"Tanggapan dari anggota jurnalistik?"
"Ibu Megan pergi menemui kepala seko—"
"Permisi, izin menyela. Memang Anda tahu bagaimana rupa ibu saya? Apa warna rambut ibu saya kalau memang Anda melihat ibu saya menemui kepala sekolah?"
Adelia menatapnya tajam. Sementara, Viola segera menodongkan penggaris panjang ke arah Megan. "Kamu diam dulu. Saya tidak menyuruh kamu untuk angkat suara."
"Saya tidak tau apa warna rambut ibu Megan, tapi wanita itu ... ibu Megan ... di-dia ... menyebut nama Me—"
"Ibu saya tidak ada pergi menemui kepala sekolah. Tolong jangan mengada-ada cerita yang tidak benar."
"Megan!"
"Kalau pun ada, seharusnya kepala sekolah juga turun tangan atas perundungan berkedok selebaran poster. Tapi, apa tindakan kepala sekolah? Tidak ada. Karena saya atau ibu saya memang tidak mengenal kepala sekolah secara pribadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Megan
Teen Fiction"You must keep your honor, Megan." Usaha Megan untuk tetap menjunjung tinggi harga diri, dengan tidak mudah meletakkan hati pada sembarang laki-laki. Tentang ambisi gadis itu untuk tumbuh menjadi seorang lady yang sempurna dalam segala hal, dan meng...