happy reading, my dear readers🧸🥛
***
Diana memejamkan matanya rapat-rapat. Penyesalan-penyesalan di masa lalu membuatnya tersiksa sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin kembali ke negara asal. Bersimpuh pada sang ibunda karena telah membangkang dan melanggar aturan penting seorang bangsawan.
Wanita itu terlihat tegar di luar, tapi nyatanya sangat rapuh di dalam. Kehidupan mewahnya yang didambakan banyak orang, kehidupan bangsawan yang sangat disanjung, dalam sekejap hilang dari genggaman Diana.
Wanita itu salah memilih jalannya. Seharusnya ia tidak bodoh hanya karena cinta.
Iya.
Seharusnya begitu.
Kehidupan di mansion Espinoza, menjadi nyonya besar, dan menikah dengan sesama bangsawan Italia yang lain.
Hidup bahagia selamanya.
Andai Diana mengorbankan cintanya di masa lalu, dan mengikuti aturan Claudine, ia pasti akan berbahagia, menjadi yang paling bahagia sekarang. Walau mungkin saat itu, cinta yang dipilihkan sang ibu tidaklah meluluhkan hatinya, tapi seiring berjalannya waktu, pasti hatinya akan luluh juga, bukan?
Tubuh indahnya merosot jatuh ke lantai. Bersandarkan pintu kamar, kemudian ia memeluk kedua lututnya. Sementara wajahnya mendongak menatap langit-langit kamar. Buku berwarna biru jeans dengan sampul hard cover berbahan cloth atau kain berada di genggaman tangan kanannya.
Diana berusaha bangkit dan berdiri tegap. Sayangnya, tubuh wanita itu terlampau lemah. Tenaganya hilang dimakan berbagai penyesalan. Ia menyederkan tubuhnya di dinding, lalu jemari lentiknya membuka buku harian tadi dan menuliskan sesuatu di sana. Wanita itu mati-matian menahan bulir-bulir bening dari kedua matanya.
Sakit.
Seharusnya ia tidak egois.
Seharusnya ia tidak menjadi bodoh hanya karena cinta.
Seharusnya—seharusnya Diana bahagia sekarang jika saja dia tidak mengikuti hatinya waktu itu.
Seharusnya ia mengikuti logikanya.
Seharusnya.
Seharusnya begitu.
Logika akan mengantarkannya pada fakta realistis, sementara hati hanya akan memberinya angan-angan dan pengharapan pada orang lain.
Bodoh.
Dirinya memang bodoh sekali.
*****
Megan turun dari mobil, lalu melangkah menuju pintu utama rumahnya. Sementara Hannah memarkirkan white maserati tersebut di garage.
Melepas sepatu dan kaus kaki, lalu menggantinya dengan sandal rumah, Megan lantas memasuki kediamannya.
Hari ini ia pulang lebih awal karena guru-guru mengadakan rapat. Beberapa agenda harian juga ikut diliburkan. Setelah berganti pakaian, Megan berniat ingin bermain piano di ruang khusus musik di rumahnya itu. Selain piano dan violin, Megan juga jago bermain cello. Lagi-lagi bakatnya itu tidak langsung ada sendiri, melainkan pengajaran dari Diana, sang ibu.
Menurut Megan, ibunya itu adalah sosok wanita luar biasa. Rambut kuning keemasan dan mata emerald-nya menyatu, membuat wajah sang ibu terlihat sangat cantik. Tatapan Diana yang selalu tegas, tapi di beberapa waktu begitu lembut, menjadikannya sosok ibu yang dapat menempatkan diri dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Megan
Teen Fiction"You must keep your honor, Megan." Usaha Megan untuk tetap menjunjung tinggi harga diri, dengan tidak mudah meletakkan hati pada sembarang laki-laki. Tentang ambisi gadis itu untuk tumbuh menjadi seorang lady yang sempurna dalam segala hal, dan meng...