Chapter XXVIII

61 19 51
                                    

happy reading, my dear readers🧸🥛

***

Megan menampilkan ekspresi datar. Orang-orang di sekitarnya mungkin akan mengira kalau dirinya tidak berperasaan, tetapi ketiga temannya mendukungnya untuk menampakkan mimik yang 'keji'.

"Gue, sih, bakal ngangkat dagu setinggi-tingginya! Nih, sekalian cium sepatu gue!" seru Audey menggebu yang berdiri di sebelah Megan sembari menggoyangkan satu kakinya.

"Playing victim so hard, padahal mereka yang mulai." Cellin menatap orang-orang di lapangan dengan pandangan tidak suka.

"Woah!" takjub Audey. "Pertama kali gue liat Cellin kesel!" sambungnya sembari bertepuk tangan pelan.

"Gue penasaran, pak Handoko bakal pertahanin mereka atau enggak, ya?" gumam Ruth agak nyaring, agar Regina dan Karin ikut mendengar. Nita, kan, ikut berbaris di depan.

"Dari rekam jejak, sih, nyetak prestasi enggak, nyampah iya. Jelas banget kalo menurut gue ending-nya bakal gimana." Audey bersedekap dada, ikut puas melihat guru BK—Viola Aprilia Sarah—beserta putri tunggal kesayangannya—Adelia—dan seluruh anggota jurnalis, termasuk Farida Yunita; Nita, sedang menahan malu mengakui kesalahan yang diperbuat.

"Mereka ga tulus, Megan. Itu cuma biar dapat keringanan hukuman, sama buat narik simpati kamu." Cellin sejak awal memang sibuk memerhatikan dan mendengarkan perkataan para anggota jurnalis. Kata-kata yang digunakan terkesan berlebihan dengan ekspresi wajah yang ketara dibuat-buat.

"Disgusting." Audey mencibir. "Kebiasaan banget orang-orang. Berani nyebar hoaks, buli-buli gak jelas, tapi pas di laporin dan diketahui khalayak jadi ngemis-ngemis maaf buat jaga reputasi."

"Jangan maafin, Megan. Lo gue musuhin seumur hidup kalo lo nahan mereka biar gak di keluarin." Ruth mengancam.

Megan hanya tersenyum tipis. Daripada memerhatikan 'drama' di lapangan, gadis itu lebih tertarik memerhatikan pandangan orang-orang yang sesekali curi-curi pandang ke arahnya. Mereka melontarkan berbagai tatapan. Namun, tatapan tidak suka dengan sorot penuh keirian dan kebencian tetap paling mendominasi.

Cantik itu memang anugerah. Tetapi akan jadi malapetaka kalau dikerubungi sekumpulan makhluk hidup yang memiliki tingkat keirian tinggi. Padahal, setiap perempuan itu cantik. Kuncinya hanya percaya diri dan afirmasi positif ke diri sendiri. Tidak mudah, langkah awal yang mesti dilakukan memang menerima kekurangan yang ada untuk bisa memberi lebih banyak cinta pada diri sendiri.

Gapapa, pelan-pelan aja.♡

Atensi Megan seketika terfokus pada podium begitu Handoko menyampaikan pesan kepada seluruh siswa-siswi SMANDA juga jejeran guru-guru dan staf yang ikut berbaris di lapangan. Kemudian, pria bertubuh tegap itu turun dari podium. Setiap langkahnya mengintimidasi Viola yang berdiri gemetaran. Handoko kini berada tepat di depan Viola, tangan kanannya terangkat naik mencabut name tag Viola dengan kasar.

"Anda dipecat tidak hormat, Bu Viola."

Viola membelalak terkejut. "Pa—pak, se—sebentar! Sa—saya, kan, sudah minta maaf sesuai yang Me-megan suruh!"

"Anda telat menerima tawaran itu. Ingat, kan? Megan tidak bersalah, tapi dia harus berusaha keras hanya untuk membuat kalian mengakui kesalahan yang kalian perbuat! Itu dilakukan untuk memperbaiki nama baiknya. Syukur Megan tidak melapor pada pihak berwajib. Anda juga masih untung tidak berurusan sama Nyonya Diana!"

"Nyo-nyonya?" Viola terlihat linglung. "Ta-tapi Pak, saya butuh biaya untuk—"

"Silakan keluar dari lapangan, Viola."

MeganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang