Malam pun tiba, Al baru saja menyelesaikan tugas sekolahnya di temanin Aaron yang sedang memeriksa pekerjaannya. "Pa, telpon Grandpa sekarang bisa?" tanya Al yang sudah duduk di samping papanya.
"Bisa, papa pinjam handphone Al untuk melihat nomor Grandpa," ucap Aaron.
Al pun mencari nomor handphone Grandpanya baru ia memberikan handphonenya pada papanya. Aaron pun mengetik nomor handphone papa Cala kemudian mendial nomor handphone Adrian. Sambungan pertama sama sekali tidak di angkat oleh Adrian hingga Aaron kembali melihat nomor yang baru saja ia ketik. Apakah ada kesalahan atau tidak. Tidak ada kesalahan sama sekali dengan nomor handphone yang baru saja dirinya hubungi. Tapi, kenapa Adrian tidak mau mengangkat panggilannya.
"Tidak mungkin kan, jika dady tidak mau menerima panggilan dari orang asing. Lagi pula, ia yang menyuruh Al ikut denganku, dia pasti tahu nomor yang menelpon dari Indonesia," ucap Aaron dalam hati.
"Papa ada pesan masuk dari Grandpa," ucap Al yang melihat ada pesan masuk dari nomor Grandpanya yang di beri nama Dady Adrian oleh Aaron.
Aaron pun membuka pesannya, "Nanti saya telpon." Hanya itu saja isi pesan dari Adrian untuk Aaron.
"Grandpa sedang sibuk, tapi nanti Grandpa akan menelpon. Apa Al mau menunggu, atau Al mau tidur saja? Nanti jika memang Grandpa menelpon, papa yang akan tanyakan tentang mama pada Grandpa," tanya Aaron seraya menatap sang putra.
"Mau nungguin Grandpa telpon, tapi kalau Al udah ngantuk papa aja yang telpon Grandpa," ucap Al.
"Iya," jawab Aaron seraya tersenyum.
"Tugasnya udah selesai?" tanya Aaron seraya mengusap samping kepala sang putra.
"Udah," jawab Al.
"Coba sini, papa lihat," ucap Aaron.
Al turun dari sofa kemudian berjalan ke arah buku tugasnya. Ia mengambil buku tugasnya dan memberikannya pada papanya. Aaron pun menerimanya, ia mengecek pekerjaan Al. Baru dua soal yang Aaron cek suara handphone pertanda ada orang yang menelpon pun terdengar.
"Papa, Granpa telpon," ucap Al yang melihat id penelpon di handphone papanya.
"Al angkat saja, sayang," ucap Aaron seraya tersenyum.
Dengab raut wajah yang begitu senang, Al pun mengangkat panggilan telpon dari Grandpanya. "Granpa!" pekik Al senang ketika sambungan telpon sudah tersambung.
"Hai jagoan Grandpa, bagaimana kabarmu di sana Al? Al baik-baik saja, bukan?" tanya Adrian dari sebrang telpon.
"Al baik Grandapa," jawab Al senang. Aaron pun kini hanya fokus menatap sang putra yang sedang bertelponan dengan Grandpanya.
"Grandpa, Grandma sama mama kabarnya bagaimana?" tanya Al takut-takut.
"Semuanya baik-baik saja Al. Al jangan kahwatir, Grandpa akan jagain Grandma sama mama. Al ikut sama papa dulu ya, sayang. Grandpa janji, akan cepat nyelesain semua yang di sini, biar mama bisa jemput Al, ya," ucap Adrian dengan nada lembut.
"Al boleh enggak, minta papa sama mama tinggal bareng?" tanya Al kemudian ia menatap papanya.
"Kalau Grandpa, tentu saja boleh. Tapi, semua keputusan ada di tangan papa dan mama. Nanti, kalau mama udah sama Al, Al tanya ke mama ya," ucap Adrian dengan nada suara lembut.
"Kalau mama enggak mau?" tanya Al yang nada suaranya menjadi murung.
"Memangnya mama pernah bilang enggak mau?" tanya Adrian masih dengah nada suara yang lembut.
"Mama selalu bilang papa kerja untuk nyari uang buat jajan Al sama mama. Tapi ..." ucap Al terhenti dan menatap sang papa.
"Tapi kenapa Al?" tanya Adrian.
"Papa enggak kenal Al sewaktu pertama ketemu," jawab Al yang nada suaranya sedih. "Kalau memang papa kerja cari uang, mana mungkin papa enggak ngenalin aku," ucap Al sedih dan tubuhnya mulai bergetar.
Aaron pun segera mengambil handphonenya kemudian membawa sang putra ke dalam pelukannya. "Sst.. maafin papa enggak ngenalin Al. Maafin papa sayang," ucap Aaron yang berlutut seraya memeluk tubuh sang putra.
Ia tidak tahu kalau kesan pertama pertemuannya dengan sang anak membuat anaknya menjadi berpikir seperti ini. Anaknya baru berusia enam tahun lebih, tapi kenapa bisa berpikir seperti ini.
"Maafin papa ya sayang, Al jangan takut. Papa, mama dan Al bisa tinggal bersama," ucap Aaron yang masih memeluk erat tubuh sang putra.
Sedih mendengar ucapan sang putra. Andai ia tahu jika dirinya memiliki anak, dirinya tidak akan malas untuk mencari keberadaan Cala. Namun, dirinya hanya sering datang ke club dan bertanya apakah ada Cala yang datang berkunjung. Ia sendiri pernah pergi sampai satu bulan lamanya ke Amerika hanya untuk mencari keberadaan Cala, tapi memang ia pasrah dengan takdir pertemuanya dengan Cala.
Bodohnya dirinya karena tidak mencari nama perusahaan orang tua Cala. Dirinya sama sekali tidak tahu tentang papa Cala. Bahkan hotel di Indonesia yang pernah di urus oleh Cala hanya ada di Indonesia dan nama CEOnya bukanlah nama papa Cala. Ia menyerah karena tidak mendapatkan jejak tentang Cala. Andai ia tidak menyerah begitu saja, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Dirinya saat itu terlalu takut untuk memperjuangkan Cala. Ia saat itu tidak mau memaksa Cala, karena merasa tidak sepadan dengan Cala. Baginya Cala berhak mendapatkan pria yang sepadan dengan Cala, tidak seperti dirinya yang terlalu cupu dan anak mama. Namun sekarang dirinya bukan Aaron yang cupu dan anak mama, walau memang dirinya sudah bertunangan dengan Emilia, tapi semua karena orang tuanya dan juga karena perusahaan. Jika saja perusahaan ayahnya tidak sedang dalam keadaan goyah dan butuh sokongan dana ia tidak akan pedulikan.
Namun, dirinya hanya sekedar bertunangan dan Aaron juga meminta waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Mereka hanya pernah satu sekolah saat tk sampai SMP, itu juga hanya teman kelas dan Aaron merasa tidak dekat dengan Emilia. Memang di sekolah Emilia sering mendekat kepada Aaron, tapi Aaron tidak peduli sama sekali. Aaron hanya membiarkan saja Emilia duduk di sampingnya dan berceloteh sesuka hatiya. Sedangkan dirinya hanya fokus dengan buku yang ia baca ataupun makanan yang sedang ia makan.
Ia merasa tenang dan bersyukur karena pada akhirnya dirinya bisa terbebas dari Emilia sewaktu SMA dan juga kuliah. Namun, dua tahun yang lalu ketika tiga bulan ia akhirnya memimpin perusahaan dan harus datang ke sebuah acara rekan bisnis sang ayah, dirinya bertemu dengan Emilia. Dari sanalah Emilia selalu mengunjunginya di kantor. Selain datang tiba-tiba ke restoran tempat ia sedang makan siang bersama sekertarisnya atau pun hanya sekedar melepas penat.
Akhirnya enam bulan lalu, mereka bertunangan karena perusahaan yang Aaron pimpin sedang ada masalah keuangan. Sang ayah berinvestasi ke sebuah perusahaan yang ternyata itu perusahaan palsu. Aaron tidak tahu hal ini, tahu-tahu keuangan perusahaan menjadi berantakan dan akhirnya perusahaan terancam bangkrut. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Di sisi lain dirinya ingin membuat keluarga kecilnya bersama Cala, tapi di sisi lain, ia tidak mungkin meninggalkan perusahaan yang sedang goyah saat ini. Perusahaan itu dibangun dengan susah payah oleh papanya, ia tahu papanya bukanlah pria baik. Tapi, papanya orang bertanggung jawab. Dirinya bisa kuliah melanjutkan pendidikan S2 dan bisa di titik ini karena papanya juga. Dan mungkin, jika dirinya bukanlah anak papanya, ia tidak akan bertemu dengan Cala. Jadi, tidak mungkin dirinya meninggalkan perusahaan begitu saja.
Nahloh, nahlo... gimana guys? Kira" bisa bersatu enggak nih? Mana hilal ketemuannya belum kelihatan. 🤣
Selamat malam mingguan guys... di temenin Aaron yang galau 🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch My He❤rt
RomanceWARNING 21+ HARAP MENJAUH YG BELUM CUKUP UMUR, KALAU MASIH MAU BACA JANGAN DI RESAPI. "Sentuh tubuhku sepuasmu, tapi jangan harap kamu bisa memiliki hatiku. Karena hatiku adalah milikku!" Cala Afia. "Aku akan membuat hatimu untukku!" Aaron Ivander ...