Pukul sebelas malam Aaron berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Sepatu ketsnya ia gantung di lehernya. Dengan pencahayaan dari lampu flashnya dia berjalan melewati ruang keluarga dan ruang tamu hingga ke luar dari dalam rumah. Saat sampai di depan pintu, dia melihat satpam sedang berjalan ke arahnya. Dengan cepat Aaron bersembunyi supaya tidak ketahuan satpam rumahnya.
Di rasa aman, dia pun segera berjalan ke gerbang. Ia segera membuka gerbang dengan kunci serep yang dia ambil diam-diam di kotak kunci serep. Untunglah gerbangnya tidak begitu berbunyi membuatnya bisa bernapas lega. Ia menghampiri Remon yang menunggunya di depan perempatan perumahannya.
Dari jauh Remon berdecak saat melihat Aaron tersenyum sambil berlari. "Ck, gila ya, lo. Itu sepatu ngapa di leher!" decak Remon dengan nada ketus.
"Eh!" ucap Aaron terkejut sambil melihat dan memegang ke dua sepatunya. "Hehehe, sory-sory, gua lupa," jawabnya seraya tersenyum menampilkan deretan giginya.
Ia pun segera memakai sepatunya kemudian naik ke atas motor. Di tengah perjalan Remon memperingati Aaron untuk tidak banyak bicara, dia juga harus memakai masker agar teman-temannya tidak ada yang tahu. Penampilan Aaron memang tidak seperti biasanya. Celana jens hitam kaos oblong putih di padukan dengan jaket jens warna hitam dan dia memakai softlens berwarna coklat.
Bibir Remon memang tadi menolak, tapi dari pada Aaron akan menempelinya saat di kampus, lebih baik ia mengajak Aaron. Aaron tidak pernah main-main dengan ucapannya, ia selalu membuktikan perkataannya.
"Wah, siapa dia?" tanya Dewa teman Remon saat ia baru saja sampai di arena balapan.
"Sodara gua," jawab Remon malas dan ia turun dari motor.
"Jangan ada yang gangu dia!" peringat Remon pada teman-temannya.
"Hari ini siapa yang tanding?" tanyanya sambil berjalan ke arena balapan.
"David, Edi sama Samuel. Lo serius gak mau ikutan?" tanya Riko.
"Gak dulu, perut gua masih suka nyeri," jawabnya santai.
"David pasti ngebully lo, kalau lo masih gak mau ikutan," ucap Riko.
"Biarin, sih. Dia punya mulut, terserah dia mau ngomong apa. Dia belum pernah ngerasin di tusuk pisau dan dapat jahitan. Kalau udah ngerasin juga tuh mulut pasti diem!" jawab Remon dengan santai.
Riko, Dewa dan Agung saling menatap, setelah kejadian penusukan itu Remon banyak berubah. Aaron yang mendengar perkataan Remon merasa bersalah atas kejadian sebelumnya.
Dia yakin, Remon mengeluarkan pisau hanya karena terdesak. Pisau yang selalu dia bawa hanya untuk berjaga-jaga dan hanya untuk dirinya yang sedang merasa lelah dengan hidup.
Hanya Aaron yang mengetahui jika Remon sering melukai dirinya dengan pisau saat dirinya sedang merasa lelah dengan hidupnya. Ia sudah meminta Remon untuk ke psikiater karena apa yang di alaminya itu salah satu penyakit gangguan jiwa.
Tapi Remon tidak mau ke psikiater karena dia tidak mau di anggap gila, apalagi jika ke dua orang tuanya tahu. Mereka pasti akan marah besar padanya dan adu mulut ke dua orang tuanya akan terjadi. Dia sudah malas mendengarkan adu mulut orang tuanya.
"Datang juga, Lo!" ledek David.
Remon hanya membalas dengan senyumannya. "Mau tanding?" tanya David seraya tersenyum miring.
"Enggak," jawab Remoh cepat.
"Hahahah, seorang Remon sekarang jadi ayam sayur! Wow! Sepertinya gelar raja balap sudah pantas untukku!"
Remon tersenyum, tapi tangannya sudah terkepal erat. "Biar aku, yang balapan sama kamu!" ucap Aaron tiba-tiba membuat Remon, David, Riko, Dewa dan Agung langsung menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch My He❤rt
RomanceWARNING 21+ HARAP MENJAUH YG BELUM CUKUP UMUR, KALAU MASIH MAU BACA JANGAN DI RESAPI. "Sentuh tubuhku sepuasmu, tapi jangan harap kamu bisa memiliki hatiku. Karena hatiku adalah milikku!" Cala Afia. "Aku akan membuat hatimu untukku!" Aaron Ivander ...