Tempat Yang Mana?

7.7K 1.7K 299
                                    

❤️‍🩹

"Wa'alikum uhok ... uhok ....!"

Aku terbatuk hebat. Ini resiko ngomong saat makan ditambah kaget berlebihan.

Batukku benar-benar heboh hingga membuat Sambada dan Qahi langsung panik.

Qahi membelai punggungku sedangkan sambada mengambilkan air untukku.

Wuih, mirip di drakor. Aku berasa jadi rebutan cowok-cowok, awokokokok ....

Namun, saat batukku reda semuanya terasa baik-baik saja, Samabada menarik diri.

Seketika aku mendongak dan menyadari pria itu memperhatikan punggungku yang terbuka.

Handuk yang tadi tersampir di bahuku jatuh karena Qahi mengelus punggungku. Tatapan Samabada tak seperti Qahi yang sempat terpaku. Pria itu tampak ... marah?

Namun, yang pasti Sambada mengambil handuk itu, menyingkirkan tangan Qahi dari punggungku dan langsung memakaikannya kembali padaku.

"Ganti baju dulu," perintahnya dengan nada dingin.

Aku tak membantah, begitu pun dengan Qahi yang harusnya merasa tersinggung karena Sambada bersikap agak keras dengan menyingkirkan tangannya tiba-tiba.

Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, mencari pakaian terpanjangku.

Sial, aku pakai gamis aja sekalian ya biar Sambada nggak keliatan kayak mau makan orang?

Tapi aku kan nggak punya gamis. Ini resikonya jadi cewek yang hobi pakai pakaian lucu-lucu dan agak minimalis.

Aku tukang jahit dan beberapa tahun ini senang membuat pakaianku sendiri. Dan berhubung rasa nasionalisku sering tergugah, aku mulai membuat dress dari bahan kebaya dan batik. Dress bergaya lucu-lucu yang tentu saja bisa dipakai sehari-hari.

Ya tapi masak aku pakai itu sekarang? Karena tak memiliki pilihan, aku akhirnya mengambil mukena. Bodo amatlah kalo aku dikira mau sholat dhuha.

Dan benar saja, begitu keluar dari kamar, Qahi melongo ke arahku.

"Ra ... kamu mau ke masjid?"

"Ye dikira pakai mukena pas ke masjid doang apa?" timpalku.

"Terus kenapa pakai mukena? Ini kan bukan waktu sholat?"

"Wahai makhluk kurang iman, sholat itu nggak cuma lima kali sehari doang."

Bukannya tersinggung, Qahi malah terkekeh mendengar jawabanku.

Susah emang manatanan ama sahabat. Sudah saling mengenal aib, buat musuhan itu hampir nggak mungkin.

Aku berjalan ke arah mereka. Kak Sambada masih berdiri di tempatnya yang tadi.

Kenapa dia nggak duduk di samping Qahi langsung sih?

Sebentar, aku belum ngechek ramalan zodiak hari ini. Kalo udah ngecek biasanya aku punya kisi-kisi buat ngehadepin hari.

Virgo. Kak Sambada virgo. Terakhir kulihat, ramalannya virgo bakal mendapatkan keberuntungan. Tapi kenapa muka Kak Sambada nggak kayak orang beruntung?

Tiba-tiba saja Qahi menarik tanganku hingga kami duduk bersisian kembali.

"Di atas pakai mukenah, di bawahnya masih celana."

"Ya dari pada telanjang," jawabku seenaknya.

"Aku pensaran gimana kamu pas telanjang."

"Dasar otak mesum!" Aku menjambak rambut Qahi yang langsung minta ampun tanpa menyadari Kak Sambada terus diam dan memperhatikan kami.

Omongan Qahi emang rada menjurus sejak dulu. Namun, itu hanya di mulut saja. Karena sesungguhnya Qahi adalah tipe lelaki yang selalu berusaha menjaga diri melakukan hal yang lebih jauh.

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang