Menuntut Pembuktian

6.9K 1.5K 279
                                    

"Qahi, kenapa kamu ke sini?"

Vivi mendekati Qahi yang terlihat gelisah berdiri di depan teras. Malam sudah larut, menerima tamu seperti bukanlah hal wajar.

Kedua orang tua Vivi sedang tak ada di rumah. Hanya ada para pembantu yang terpaksa bangun karena kehadiran Qahi.

Namun, sebentar lagi kakak dan kakak iparnya akan datang. Kak Satria telah menelepon tadi dan mengatakan sudah ada di jalan. Hal itulah yang membuat Vivi merasa aman meski harus menerima tamu pria.

"Maaf, aku tak bia mempersilakanmu masuk. Kita duduk di sini saja ya."

"Aku tak bisa lama-lama. Ada hal penting yang harus kusampaikan padamu."

Saat itulah Vivi menyadari bahwa Qahi terluka. Sudut bibir dokter itu bahkan sedikit robek dan jelas belum diobati.

"Ya Tuhan, Qahi, kamu terluka? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu? Duduklah dulu, aku akan mengambilkanmu obat. "

"Tidak perlu. Aku tidak datang untuk diobati."

"Meski begitu, kamu tetap membutuhkannya. Kamu memang dokter, tapi kamu bukan Superman yang lukanya bisa sembuh sendiri. Duduklah, jangan membantah," perintah Vivi.

Namun, saat gadis itu hendak masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan obat, Qahi menahannya. Pria itu menyetuh pundak Vivi. Matanya menyorot tepat ke mata gadis itu.

"Kamu bertanya apa yang terjadi bukan? Kenapa aku bisa seperti ini?"

Vivi mengangguk meski agak terkejut karena sikap agresif Qahi.

"Ini karena Athira."

"Athira? Pacarmu? Kalian bertengkar sampai adu fisik?" tanya Vivi tak percaya. Meski tak menyukai Athira karena sikapnya yang kadang sangat tajam dan penuh sarkasme, Vivi tak yakin wanita itu mampu melukai orang. Kecuali tentu saja dia telah kehilangan akal.

Namun, dilihat sekarang, Qahilah yang tampaknya sebentar lagi akan kehilangan akal. Wanita itu bahkan mencium bau alkohol dari mulut Qahi. Dan itu membuat Vivi merasa khawatir.

"Ini karena dirinya. Aku berkelahi dengan Kakakku."

"Sambada?"

"Dan jangan menyebutnya pacarku. Dia bukan pacarku. Dia hanya perempuan pengkhianat."

"Tunggu kamu berkelahi dengan Sambada? Jadi luka itu karena Sambada? Apa Sambada juga terluka?"

Qahi tahu tak sepantasnya kesal karena kepedulian Vivi pada Sambada. Namun, rasanya sang kakak selalu mendapatkan perhatian tulus dari semua orang, padahal di sini, Qahilah yang terluka.

"Dia tidak terluka, tidak sepetiku. Kamu pasti tahu aku tidak akan pernah tega melukai kakakku, tidak seperti dirinya yang tidak mempedulikanku."

"Qahi, bicaralah yang jelas."

"Aku bicara yang sebenarnya. Kakakku tidak terluka, tapi dia telah kehilangan adik dan kedua orang tuanya."

"Apa maksudmu?"

"Kak Sambada lebih memilih Athira dari pada aku, Bundaku bahkan Ayahku."

"Apa?" Kepala Silvia mendadak terasa penuh. Dia tak bisa mencerna maksud dari semua kalimat Qahi yang emosional itu.

"Kak Sambada sudah menikah dengan Athira, tadi pagi. Dia menipu kita semua."

Andai Qahi tak memegang bahunya, Vivi pasti sudah jatuh terjerembab. Semua yang diucapkan Qahi seperti mimpi buruk yang tak mungkin menjadi kenyataan.

Sambada sudah putus hubungan dengan Athira. Bunda pria itu meyakinkan Vivi. Sambada juga tidak mengelak hal itu. Lalu bagaimana bisa sekarang dia malah menikah lagi dengan ... dengan gadis tak tahu sopan santun yang menggelikan itu?

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang