Jin dan Roro Jonggrang

5.5K 1.2K 205
                                    


*****

"Hayoloooh ... hayolohhh ... hayolohhhh ... penganten lama rasa baru, kenapa mukanya lesu gitu? Capek ya? Habis berapa ronde emangnya? Sudah jompo rasanya itu badan? Stock shampo aman? Karena Bang Aryah siap memberi sumbangan, ihik ...."

Keputusanku buat dateng ke Purple udah tepat. Yang gini nih bikin aku nggak harus nangis mulu. Seenggaknya ketemu Bang Aryah bikin aku lupa wajah judes Tante Permata dan muka liciknya si kuyang. Kata-kata dari Silvia yang bikin mentalku berantakan.

Lelah hayati. Lelah banget hari ini. Mataku udah semabab gara-gara sepanjang perjalanan nangis terus.

"Kamu kenapa sih bebh? Muka pucet kayak orang tipes. Jangan bikin Abang cuujon donk, bari digoyang sebentar, kamu sudah meleduk duluan. Emang sehebat apa sih tornadonya Altair?"

"Eh makasudnya?"

"Kamu nggak tekdung tralala kan?"

"Ya kali ada orang bisa hamil malam pengantennya aja baru kemarin? Emangnya Kak Sambada jin terus aku Roro Jonggrang."

Bang Aryah mendesah. "Perbandinganmu itu nggak apple to apple, Roro Jonggrang itu minta candi, bukan bayi."

"Ya tetep aja nggak bisa dibuat semalam kan. Kecuali ...."

"Kalian DP duluan ...."

Suata tawa Bang Aryah membahana dan aku nggak tau kenapa ikut ketawa. Padahal jokenya nggak lucu sama sekali.

"Tapi Altair mah nggak bisa diandelin kalo masalah bikin dosa, terlalu lempeng anaknya."

Aku menyeringai. Andai Bang Aryah tahu perbuatan Kak Sambada di dapur Ibu dulu, dia pasti akan mengira suamiku Jin beneran.

"Jadi gimana? Tubuh Anda sudah terasa sepuh atau masih kuat menerima gempuran tiada henti dari lelaki penuh birahi itu Nyai?"

"Mau tau aja apa tau banget?" tanyaku.

"Emang beneran kamu mau ngasi tau?"

"Ya nggaklah. Masak aku mau ceritain barang berharga milikku."

Bang Aryah tertawa ngakak. Beberapa pengunjung menatap ke arahnya, tapi malah ikutan tertawa. Padahal aku tahu mereka sama sekali nggak tau apa yang lagi kami omongin. Bang Aryah emang punya kemampuan bikin orang bahagia tanpa berusaha.

"Cie yang sekarang doyan."

Aku mesem-mesen. Hadepin  Bang Aryah itu nggak boleh pake mode kalem karena Anda akan berakhir jadi bulan-bulanan dia.

"Tapi kenapa Anda terlibat lemas, lunglai, dan tak bertenaga, kayak korban pinjol di tanggal tua?"

"Capek."

Jawabanku yang jujur itu malah bikin Bang Aryah makin ngakak dengan semena-mena.

"Biasalah Chyin, namanya juga udah puasa bertaun-taun itu. Untung nggak karatan barangnya. Lakik mah emang gitu, prinsipnya kami puas, kalian lemas."

Joke bapak-bapak Bang Aryah makin brutal aja. Herannya aku malah bisa ngikik gara-gara itu.

"Abang buatin susu anget ya."

"Emangnya aku bayi?"

"Lah siapa bilang yang minum susu cuma bayi. Noh liat, akong-akong aja tetap minum susu biar tulangnya kuat menghadapi hari tua."

"Iya, Bang, buatkan saja. Sekalian sama spaghettnya ya."

Aku langsung menoleh pada Kak Chyara yang datang dengan sepiring pie blueberry.

"Kamu lapar, Chy? Bukannya tadi udah makan?"

"Bukan, ini buat Athira, Bang."

"Oh kirian kamu lapar lagi habis disekap Dirantara di kantor tadi pagi. " Bang Aryah mengipas-ngipaskan  tangan di depan wajah. "Tolong hambamu yang berotak polos dan berjiwa suci murni ini dari bosnya yang suka kudah-kudahan di kantor pagi-pagi."

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang