Wasiat

7.8K 1.6K 268
                                    

Aku baru bangun. Bener. Kerjaanku setelah kepergian Kak Sambada cuma berbaring sama ngelus bulu Cimol. Tapi pas ketiduran tadi, si Cimol pergi. Aku yakin dia mau ketemu Jali. Emang kalo cinta buta itu susah dinasehatin. Ntar aja kalo dia bunting di luar nikah aku akan bilang, "kaween terosssss.... "

Aku ke kamar mandi. Membersihkan  diri. Keramas juga. Penampilanku udah kayak zombie. Saat itulah aku dengar suara pintu di ketuk.

Suara salam yang kukenal sebagai suara Tante Permata terdengar. Aku buru-buru mengenakan baju. Aku juga sisiran tipi-tipis. Habis ini aku mau sholat sebenarnya, tapi nggak enak kalo gak nyambut tamu dulu.

Aku membukakan pintu depan buat Tante Permata yang datang membawa makanan. Ada Qahi juga.

"Tante, maaf, tadi aku mandi. "

"Tidak apa-apa, Sayang. "

Aku dapat pelukan yang lama banget dari Tante Permata.

Qahi juga mengulurkan tangan yang langsung kusambut.

"Harusnya kamu cium kayak cium tangannya Bunda."

"Mohon maaf, Anda siapah? "

Qahi tertawa mendengar jawabanku, Tante Permata juga.

"Tante senang kamu sudah bisa bercanda. Nangisnya sudah ya, Sayang. "

Aku tersenyum kecil, tak yakin.

"Bunda masak buat kamu. Jarang-jarang lho Bunda mau terjun ke dapur. Jadi hari ini kamu harus mau makan banyak, " ujar Qahi pas kami udah masuk ke rumah.

Aku mengangguk aja. Aku tau Tante Permata itu tipe Ibu-ibu yang nggak suka di dapur. Dia pengusaha dan dari keluarga berada. Dia punya banyak pembantu di rumah. Tante Permata masuk dapur kalo Qahi lagi minta dimasakin aja. Dan sekarang dia masak buat aku. Aku tahu itu bentuk perhatian dan kasih sayangnya. Aku nggak mau ngecewain Tante Permata.

"Mau makan di mana? " tanya Tante Permata dengan lembut.

Sikapnya ini mengingatkanku sama sikapnya dulu. Aku selalu dimanjain sama dia. Sampai Ibu sempat ngeluh. Katanya aku nggak boleh dimanja. Tapi Tante Permata bilang, dia nggak manjain, dia cuma ngurus anak perempuannya.

"Di sini aja deh, Bund. "

"Bunda tanya Athira kok Adek yang jawab. "

"Nah, mulai kan, kalo ada Athira aku kalah suara. "

"Nggak usah iri, kamu harusnya ikut memanjakan dia. "

Aku tidak mau dimanjakan. Ibu sudah mendidikku jadi anak mandiri sejak kematian Bapak. Lagi pula, aku nggak mau tergantung sama Tante Permata atau keluarganya. Setelah ini, aku harus mulai ngurus hidupku sendiri.

"Iya deh, Iya. Sayang kamu mau makan di mana? "

Aku sempat melongo dipanggil sayang oleh Qahi. Apa-apaan dia?

"Udah jangan digodain terus. Athira kaget itu. Kamu nih usil banget."

Qahi cengengesan.

"Kita makan di sini aja, Tante," ujarku kemudian. Aku nggak nyaman sama cara ngomong Qahi.

"Baiklah. Dek, ambil piring gih. "

"Siap, Bunda." Qahi segera menuju dapur.

"Tapi aku sholat dulu ya Tante. "

"Baiklah. Tante siapkan makananya. "

Aku segera masuk ke dalam kamar Ibu. Wudhu lalu sholat. Kedatangan Tante Permata dan Qahi tidak membuatku tenang sama sekali.

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang