H-1

6.3K 1.6K 238
                                    

Eke nggak ngedit. Ada keluarga meninggal baru dikasi tau. Eke buru2in nulis.

Jadi maklumin pertipoan ini

******

Aku natap langit-langit kamar dengan gamang.  Ini udah hari kesepuluh kepergian ibu. Waktu rasanya lambat banget geraknya. Tiap hari nggak ada yang beda. Aku bahkan nggak pernah ngeliat jam. Lampu yang dinyalain adalah tanda bahwa waktu udah berganti buatku.

Dan sekarang lampu udah dimatiin. Dalam adat di daerahku, ada yang namanya sembilan harian. Ya zikir yang dilakukan saat orang meninggal setelah sembilan hari. Biasanya kaum perempuan pun diundang, tapi mereka datang sore hari. Berbeda dengan para pria yang datangnya malam hari. Dan kemarin rumah benar-benar ramai oleh tetangga dan keluarga yang datang membantu juga berkunjung memenuhi undangan.

Berbeda dengan hari ini yang sangat... sepi. Aku tahu tak ada acara memasak khusus di rumah, karena Tante Permata mengatakan mungki  aku belum siap untuk kebisingan dadakan. Jadi semua acara di rumah, jamuannya itu menggunakan ketering.

Aku jujur aja nggak tau siapa yang biayain. Otakku nggak mampu mikirin hal itu. Tapi nanti aku bakal nanya sama Om-ku. Aku tau Ibu punya tabungan. Aku juga punya. Nanti aku mau ganti uangnya.

Jujur aja hari ini aku nggak tau mau ngapain. Orang-orang udah pulang ke rumahnya. Terakhir tadi subuh Tanteku pamitan mau pulang. Rumah Om-ku (saudara Bapak) jaraknya emang hanya satu jam dari sini, tapi tetap aja mereka udah nemenin aku lebih dari seminggu. Sudah saatnya mereka balik ke dunia nyata, ke kehidupan yang seperti semula, berbeda denganku yang kayak kejebak sekarang.

"Miowwww.... "

Aku tersentak. Itu suara Cimol. Saudariku tersayang. Aku baru ingat  kalo Ibu masih punya satu anak angkat. Kasian Cimol, dia pasti juga kehilangan Ibu. Semua kebutuhannya kan diurusin Ibu. Itu anak gadis emang manja banget. Makanya aja harus tongkol hangat yang baru digoreng. Dan sepuluh hari terakhir ini nggak ada yang  gorengin dia tongkol. Cimol pasti ngerasa kehilangan dan sama buta arahnya kayak aku pas Ibu nggak ada.

Banyak orang yang berusaha buat ngehibur aku, tapi Cimol? Dia cuma Kali. Masalahnya si Kali itu cowok paling gak peka di semesta. Dia pasti lebih milih ketemuan sama Natasha dari pada ngehibur Cimol yang sedang berduka.

Aku jadi ingat pesan Ibu. Ternyata ini juga maksudnya pas nyuruh aku bawa Cimol dan ngerawat si bungsu. Itu pasti udah punya firasat bakal ninggalin kami.

Aku mengusap air mataku yang menetes. Aku bakal nangis lagi, sepuasnya, tapi ntar, soalnya sekarang aku harus kuat demi Cimol. Seenggaknya sampai bisa ngasi dia ikan tongkol goreng.

Suara dengan Cimol menuntut langkahku. Rumah beneran sepi dan terasa lenggang. Aku tau Cimol nggak di kamarku, soalnya arah suara Cimol tuh dari dapur.

Tapi langkahku langsung berhenti di ambang pintu dapur, soalnya ngeliat Kak Sambada yang sedang ngelus kepala Cimol.

"Kamu lapar ya, Cantik?"

Tadinya aku mau terharu, tapi pas dengar Kak Sambada bilang Cimol cantik, aku jadi nggak terima. Kan panggilan itu cuma buat aku. Kok sekarang dikasi ke kucing? Mentang-mentang kami udah putus dia jadi tebar rayuan kemana-mana. Atau jangan-jangan kebiasaan lama Kak Sambada yang tebar pesona kumat. Dia tuh kelemahan buat kaum hawa. Spik-spiknya itu bahaya banget. Kalo sama Cimol dia bilang cantik, Jangan-jangan sama si Hasyu juga?

Kalo gini kan kampret!

"Sebentar, Kakak ambilkan piringmu dulu ya. "

Kakak?

Kak Sambada nyebut dirinya Kakak? Jangan-janhan Kak Sambada udah sama streesnya kayak aku. Kehilangan Ibu pasti bikin dia nggak bisa berpikir terlalu sehat.

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang