Tanggung Jawab

5.9K 1.5K 212
                                    


Apdet lagiiii. Sesuai pengumuman di IG, cerita ini insyaallah Inak selesein sebelum lebaran yak. Jadi ayook kita gassssssss.


*****

"Kamu tidak apa-apa?"

Aku menggeleng. Aku masih shock sih sama sikap jahat Qahi. Kebenciannya itu kerasa banget. Tapi untunglah dia nggak sampai main fisik kayak di rumah kami tadi siang. Kalo kejadian lagi, aku nggak bisa bayangin gimana reaksinya Kak Sambada.

Sumpah, suamiku keliatan kek mau jitak Qahi dari tadi.

Qahi bener-bener ngeluarin sisi terburuk dirinya sekarang.

Dia yang kecelakaan, orang tuanya yang dirawat. Dan dia nggak keliatan nyesel sama sekali.

Jujur aja, Qahu ngebuat aku ngerasa bersalah tadi. Tapi ngeliar cara Kak Sambada negebela aku bikin aku ngerasa nggak ngenes-ngenes banget.

Yah selama suami tetap sayang, ipar mo jadi titisan dajjal juga bodo amat kan?

"Sayang, kamu dengar aku?" tanya Kak Sambada lagi.

"Nggak apa-apa, Kak." Eh dia manggil aku sayang kan tadi?

"Tapi mukamu pucat."

Aku menepuk-nepuk wajahku. Berharap bisa balikin ronanya. Meski kayaknya gagal deh soalnya Kak Sambada masih kelihatan khawatir banget.

Kenapa sih aku nambah beban dia aja?

"Ini pasti karena semua yang dikatakan Qahi tadi padamu."

Aku coba buat senyum meski susah. "Nggak juga kok. Aku kan udah biasa ngeliat dia tantrum."

"Tetap saja tidak sepantasnya kamu menerima perlakuan seperti itu."

Aku menghentikan langkah, hingfa Kak Sambada juga terpaksa melakukannya. Kami berdiri persis di lorong panjang ruang ranap inap yang dini hari ini sepi banget.

Aku nggak bisa nemenin Tante Permata lagi. Qahi pasti bakal ngajak aku adu mulut kalo dia balik lagi. Jadi Kak Sambada mengajakku menemui Om Kusuma saja.

Aku membelai wajahnya dengan sayang. Aduh suamiku ganteng banget. Ehehehe ....

"Qahi pasti butuh waktu buat bisa nerima aku. Selama ini kan dia mikirnya aku punyanya dia. Maksa dia sekarang buat nerima kenyataan dan bersikap baik sama aku tuh kayaknya mustahil, Kak. Dia malah bakal makin tantrum yang ada. Jadi kita biarin aja dia gini dulu. Ntar juga dia cape sendiri."

"Kenapa kamu harus sesabar ini?"

"Hohoho Anda salah sangka Kisanak, saya nggak sabar. Saya cuma bodo amat sama sikap Adik Anda itu."

Kak Sambada tersenyum. Dia menggenggam tanganku yang membelai wajahnya. "Kamu tidak bisa bodo amat sama Qahi. Di mobil saja kamu menangisi dia kan."

"Eh?" Sumpahlah padahal aku nangis nggak pake suara tadi, kok Kak Sambada bisa nyadarinnya? Aduh aku nggak mau dia salah paham.

"Jangan berbohong. Aku tahu kamu menangisinya."

"Itu ...."

"Wajar bagiku. Kamu menyayangi Qahi. Dulu kalian sangat akrab. Semarah apapun kita pada seseorang yang kita sayangi, pasti ada perasaan tidak rela jika dia mengalami sesuatu yang buruk."

Hatiku ... nggak pernah baik-baik aja pas Kak Bada sepengertian ini. Kenapa dia selalu bisa memaklumi sih? Kebaikan hatinya itu bikin orang jadi ngerasa jahat. Sekarang aku ngerasa jahat padahal nggak  pernah punya niat jahatin Kak Sambada sedikitpun.

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang