Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Surabaya, 01 Desember 2023.
Di Bandara Juanda Internasional.
Terdengar suara bising dari sebuah pesawat yang sedang landing kala hari berganti sore. Saat pesawat sudah berhenti, mulai turun para penumpang dengan melewati sebuah tangga dari pesawatnya satu persatu.
Terdengar pula suara langkah kaki dari sepatu seorang gadis berambut pirang, lengkap dengan mengenakan kacamata hitam dan membawa sebuah koper besar yang diseretnya. Gadis bule itu bernama Alice Walker, mahasiswi asal Amerika yang hendak melakukan tugas penelitiannya di kota Madiun Jawa Timur. Dia memiliki ketertarikan tersendiri terhadap Indonesia, juga rasa penasaran dan obsesi yang tinggi terhadap tradisi peninggalan nenek moyang asli Indonesia, yaitu pencak silat. Maka dari itu Alice mendatangi kota Madiun-dimana kota tersebut mempunyai julukan kotanya para pendekar, karena kebanyakan perguruan atau organisasi pencak silat yang besar lahir dari Madiun.
Seorang tukang ojek online menanti di depan bandara, tepatnya pinggir jalan raya dengan mengendarai sebuah motor matic dan mengenakan jaket berwarna hijau muda mencolok. Alice berniat langsung melanjutkan perjalanannya ke Madiun saat itu juga. Memang jarak Surabaya ke Madiun tidaklah terlalu jauh, mungkin hanya menempuh perjalanan sekitar 3-4 jam perjalanan jika dengan naik sebuah kereta.
Alice, ia dapati seorang lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek online itu mengenakan sebuah kalung salib perak. Alice naik; motor kian melaju dan bule itu sedikit merasa terkejut saat mata birunya melihat sebuah helm yang dikenakan si tukang ojek terdapat sebuah stiker bendera Palestina. Dan di bawah stiker bendera itu terdapat pula sebuah tulisan timbul: #SavePalestine.
"Bapak pro-Palestine?" tanya Alice sembari matanya menyelidik.
Lumrahnya seorang nonis, apalagi Alice adalah kelahiran Amerika dan tinggal di sana. Tak perlu dijelaskan lagi seperti apa negara yang menjadi kiblatnya peradaban dunia itu.
"Sure!" (Tentu!) jawab tukang ojek tanpa ragu, pria itu sesaat menunduk—melirik kalung salib perak yang ia kenakan dihempas oleh angin. Dan lanjut ia kembali berseru dengan terkekeh kecil:
"Tidak harus menjadi seorang muslim untuk membela tanah yang ditindas oleh tamu tak terhormat. Cukup kita jadi manusia saja," jelasnya.
Terlukis sebuah senyuman tipis di bibir Alice. Namun, sesaat suasana menjadi hening. Nampak tukang ojek itu menggambarkan raut wajah sedih.
"Pak? Are you okay?" tanya Alice. (Kamu gak apa-apa?)
"Saya jadi sedih, Mbak, bahas soal barusan. Saya gak tega melihat anak-anak kecil dan para perempuan yang gak berdaya diperkosa, disiksa bahkan dibunuh."
Alice menundukkan pandangan, sesaat ia juga menghela nafasnya. Dan kemudian, tukang ojek itu melanjutkan obrolan dengan sebuah pertanyaan ringan untuk melupakan kesedihannya. "Mbaknya bisa berbahasa Indonesia?"