"Apa menurutmu pertemuan itu hanya saat kedua insan saling bertatap muka? Kalau iya, biarlah itu menjadi selamanya. Aku ingin mengenalmu tanpa batas, Aisyah."
- Rumi Al-Husein
Keputusan nikah atau tidak nikahnya antara Rumi dan Aisyah ada pada tangan hakim. Dan kemarin, hakim telah memutuskan bahwa pernikahan telah disetujui-bersama pak Aziz yang telah siap menjadi pengganti wali nasab dari mempelai wanita.
Hari ini, hari kamis.
Aisyah tengah duduk di bangku mobil bagian tengah bersama Yuki dan Zavira. Dan di depan mereka ada pak Bahar yang tengah menyetir mobil, bersama Juned yang duduk di bangku samping pak Bahar.
Di sisi lain. Rumi tengah berada di mobil yang dikemudikan oleh pak Amri, di mana saat itu mobil yang di kendarai Rumi berada di depan mobil pak Bahar. Di bangku belakang Rumi dan pak Amri ada Ramzi, Ardha dan beberapa pemuda yang akan ikut menjadi saksi di pernikahan Rumi dan Aisyah hari itu. Ya, perjalanan ini adalah perjalanan mereka menuju kantor K.U.A.
Pak Amri melirik Rumi yang tengah duduk di sampingnya dengan pandangannya yang kosong ke arah depan.
"Kamu percaya jodoh, Rum?" celetuk pak Amri bertanya menggunakan bahasa Jawa.
Rumi menoleh. "P-percaya, Pak."
"Terus apa lagi yang kamu pikirin, hm?"
Rumi sedikit menundukkan pandangannya. "Enggak, Pak,"
"Kamu cinta sama bule itu?"
"Iya, Pak,"
Pak Amri terkekeh. "Cinta itu anugrah dari Tuhan. Dan pasti ada maksud Tuhan menganugrahi kamu cinta itu."
Rumi mendongakkan kepalanya dan mulai menatap lekat pak Amri. Begitu pula pak Amri, ia juga menoleh ke arah Rumi sebentar.
"Cinta itu takdir, Rum. Kamu tidak akan pernah bisa merencanakan kamu akan jatuh cinta dengan siapa."
Rumi membuang pandangannya kedepan.
"Jadi cintai takdir Allah, cintai apa pun yang sudah ditentukan oleh-Nya." lanjut pak Amri.
Rumi paham dengan apa yang telah disampaikan oleh pak Amri. Namun, ia hanya diam dan tak terlalu banyak merespon. Hal yang masih membuat Rumi kepikiran adalah: kenapa pak Amri terus bersikeras untuk menikahkan Rumi dengan Aisyah, apa tujuannya?
Tak berselang lama, mereka pun akhirnya sampai di depan K.U.A. Saat mobil telah berhenti, pak Amri pun mulai turun dari mobilnya dan segera menuju ke dalam kantor menemui pak Aziz.
Rumi. Dia masih di dalam mobil, hanya terdiam dan melamunkan pandangannya. Batinnya hanya bergumam: "Hari ini aku nikah? Ini benar, kan? Gak mimpi?"
Plak!
Suara tamparan lirih dari Ardha yang mendarat di pipi Rumi.
"Rum," panggil Ardha yang duduk di bangku belakang Rumi dengan memangku sebuah seserahan nikah. Dilanjut, Rumi menoleh ke arah Ardha duduk.
"Ye, malah bengong! Dipanggil pak Amri, tuh!" lanjut Ardha.
"Oh, iya." Rumi pun akhirnya bergegas turun dari mobil dan berlari menuju ke arah pak Amri yang tengah berdiri di depan kantor bersama pak Aziz.
"Masuk," celetuk pak Amri menyuruh Rumi untuk masuk. Di ikuti Ardha, Ramzi dan yang lainnya turun dari mobil.
Di dalam sebuah ruangan yang tak begitu besar. Di sana hanya nampak satu meja dengan lima kursi yang tertata di samping-sampingnya. Rumi duduk di depan pak Aziz, dengan para tamu dan saksi yang juga mulai masuk dan duduk untuk menyaksikan berlangsungnya acara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota 7 Negara
Dla nastolatkówTERBIT! Beberapa chapter dalam versi Wattpad tidak dipublish demi kepentingan penerbitan. Happy Reading, Ay.