"Dan balas dendam atas masa lalu yang buruk itu tidak akan merubah apa pun, kecuali hanya bertambah buruknya suatu keadaan tersebut."
- Rumi Al-Husein
Keheningan itu pun tiba usai kepergian Alice dari sisi Rumi yang kini sendirian. Butiran air mata yang jatuh itu telah membasahi pipi Rumi. Menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan.
"Astagfirullahal'adzim."
Tampak kabur, kini Rumi membuka matanya secara perlahan. Mengambil handphonenya yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Sekarang dia hendak menelfon Ramzi.
"Hallo! Gimana, Rum?" Ramzi mengangkat telfon Rumi.
"R-ramz?"
Mendengar suara nafas Rumi yang tak beraturan, Ramzi pun mulai mencemaskan temannya.
"Rum!?"
"Kenapa?"
Hening, hanya ada suara Rumi yang masih menahan isakan tangisnya.
"Oke! Gue ke rumah lo sekarang!"
Ramzi menutup telfonnya, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi. Intinya, sekarang dia harus ke rumah Rumi.
Rumi melempar handphonenya sembarangan ke atas sofa. Menyandarkan badannya dan melirik ke arah laptop yang masih menyala.
Rumi merasakan sakit yang kini menyerang dadanya. Kemudian, dia bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Dada Rumi kini kian merasa sakit, entah sakit apa yang dia sembunyikan selama ini. Dia langsung cepat menuangkan air putih dari sebuah ceret ke dalam gelasnya untuk kemudian dia minum sampai habis dengan posisi duduk di atas kursi meja makan.
Dirasa kini rasa sakitnya mulai hilang karena dingin dari air itu, ia kini meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu di atas meja dengan tangan yang masih menggenggam gelas tersebut.
Dia melirik ke arah jam dinding yang sedang mengarah pada pukul 21.11. Tapi.. Bukan! Rumi bukan menatap ke jarum jam itu, melainkan menatap foto masa kecilnya yang menjadi background dari jam dindingnya tersebut.
Flashback on:
Rumi mengintip dari depan kamarnya, melihat ayahnya (Umar Zaenury) yang berjalan dengan sempoyongan, baru pulang usai melaksanakan aktivitasnya setiap malam, yaitu mabuk dan berjudi.
Ayah Rumi terhenti dengan tangan memegang tembok di batas pintu depan rumah yang baru dia buka, dia menatap Rumi kecil yang nampak sangat ketakutan malam itu.
"BUK!? IBUKKK!?" pekik ayah Rumi memanggil istrinya.
Tak berselang lama ibu Rumi pun datang menolong ayah Rumi yang tengah tak kuat lagi untuk melangkahkan kakinya. Dengan sabar ibu Rumi menuntun suaminya ke dalam kamar dan membaringkannya di ranjang.
Setelah menolong suaminya untuk masuk ke dalam kamar, kini ibu Rumi kembali keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur dengan wajah yang penuh dengan beban pikiran.
Ibu Rumi duduk di kursi meja makan, menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang dia letakkan di atas meja. Rumi pun berlari menuju ibunya dan memeluknya. Tersadar, ibu Rumi pun memeluk Rumi balik.
Tangis pun tak dapat Rumi tahan saat itu, ia amat merasa kasihan melihat ibunya yang tengah termenung. Rumi masih kecil, apa yang bisa dia lakukan saat itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota 7 Negara
Teen FictionTERBIT! Beberapa chapter dalam versi Wattpad tidak dipublish demi kepentingan penerbitan. Happy Reading, Ay.