Pagi itu adalah hari dimana suasana dipenuhi seru isakan tangis dan air mata yang berderai. Sebuah bendera dengan warna kuning berkibar diterpa oleh hembusan angin di depan rumah sang kepala desa. Kematian pak Amri sungguh memukul perasaan batin Rumi dan Aisyah, seseorang yang telah banyak menolong mereka selama ini.
Di pemakaman. Aisyah masih dengan mengenakan sebuah cadar, tengah berdiri di belakang suaminya, Rumi. Aisyah berusaha membulatkan niatnya untuk mendekat ke bu Anna (istri pak Amri) yang tennga duduk bersimpuh di samping sebuah batu nisan yang bertuliskan nama; Amri Subagio.
Aisyah memeluk bu Anna dengan penuh perasaan. Berharap agar batin istri pak Amri itu akan tenang.
Rumi hanya berdiri mematung, menatap bu Anna yang masih menangis dengan diiringi rintihan bahwa ia masih tak terima dengan kepergian pak Amri. Dan Aisyah, ia terus memeluk perempuan itu sembari mengelus-elus pundaknya.
"Sudah, Bu. Sudah, ini kehendak Allah," ucap Aisyah dengan suara lembutnya masih dalam pelukan.
"Semalam, bapak (pak Amri) pamit mau ke kebun durian yang memang kebunnya ada di daerah gunung. Dan dia baru pulang dari sana pukul 03.00 pagi tadi. Dan ibu dapet telfon dari nomor bapak tapi yang ibu denger bukan suara bapak. Orang itu bilang bapak habis jatuh di serempet mobil pas lewat jalan tikungan yang emang itu jalannya gelap."
Aisyah menoleh sebentar ke arah Rumi yang masih berdiri di belakangnya setelah mendengar kronologi yang diceritakan oleh istri pak Amri.
"Saya mikir mungkin bapak masih sempat minta tolong, tapi berhubung jalan itu gelap dan gak ada lampu sama sekali jadi bapak meninggal di sana."
"Terus, apa pak Amri ada luka di fisiknya, Bu?" tanya Rumi.
Istri dari pak Amri itu pun tak memandang Rumi sama sekali, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menjawab, "enggak, enggak ada, Mas Rum."
Rumi menundukkan pandangannya. Ia tak tega melihat bu Anna yang terus-menerus menangis. Kini ia hidup hanya sebatang kara. Mengingat bahwa dirinya dan pak Amri memang tidak diberikan karunia seorang anak. Jadi, semasa hidup, pak Amri hanya tinggal berdua bersama istrinya.
Rumi menggiring pandangannya ke arah Aisyah yang sudah lebih awal menatapnya.
"Ay?" panggil Rumi sambil mengedipkan mata sebelah. Aisyah pun melepas pelukannya dengan bu Anna dan bangkit untuk kemudian mendekat ke samping suaminya.
Rumi meraih tangan Aisyah, lalu mengajaknya ke tempat yang sedikit sepi. Dimana pendengaran seseorang tak akan mampu menjangkau obrolan mereka.
"Kasihan aku, Ay."
Aisyah menghela nafas kasar setelah sesaat ia melirik ke arah bu Anna yang sekarang telah berada dalam dekapan orang lain—ibu-ibu—yang berusaha menenangkannya.
"Iya, Mas, aku juga."
"Aku gak tega lihat bu Anna tapi di sisi lain aku juga gak bisa apa-apa," ucap Rumi lirih. Sambil sejenak ia menundukkan pandangan.
"Mas.. Suamiku.. gak ada yang harus kamu lakuin kok," balas Aisyah lembut.
"Apa rencanaku hari ini bakal ketunda?"
Aisyah mengernyit. "Rencana apa, Mas?"
"Mengajakmu ke suatu tempat."
"Boleh. Lagi pula bu Anna sudah banyak yang nemenin, seorang istri kepala desa gak akan sekesepian itu. Pasti banyak yang akan turut berduka cita, terlebih keluarga-keluarganya." Aisyah menjeda bicaranya. "Kamu mau mengajakku kemana, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota 7 Negara
Teen FictionTERBIT! Beberapa chapter dalam versi Wattpad tidak dipublish demi kepentingan penerbitan. Happy Reading, Ay.