27 | Dua Garis Biru

6K 432 33
                                    

"Apa aku sudah siap menerima semua ini, Ramz?"

Di toko bunga. Bersama Ramzi, Rumi berusaha mencurahkan isi hatinya. Aisyah sedang tidak di sana, ia di warung untuk memesankan kopi untuk kedua pria itu, Rumi dan Ramzi.

Ramzi menghela nafasnya kasar. Ia benarkan posisi duduknya, lalu menatap Rumi dengan lekat. "Siap-tidak siap, awakmu harus siap, Rum. Bukannya Aisyah sendiri yang pernah bilang ke kamu kalau dia pernah punya masa lalu. Lagipula kamu tau sendiri, to, budaya orang barat itu bagaimana? Kebanyakan orang di sana itu... Hijab adalah penindasan bagi perempuan."

Rumi menundukkan pandangannya. Wajahnya penuh sendu, tiada lagi keceriaan. "Aku pernah bilang ke dia, Ramz, kalau dia pernah salah jalan maka berarti dia banyak pengalaman. Artinya, aku sudah menerima masa lalunya. Tapi..."

"Rum...? Sekarang aku tanya...," pungkas Ramzi dan Rumi menoleh kepada pria itu. "Cinta itu feeling or action?"

Rumi kembali menundukkan pandangannya. Lantas menjawab dengan lirih:

"Bisa jadi keduanya, Ramz."

Ramzi terkekeh kecil. "Cinta itu bukan sekedar bahagia, Rum. Cinta itu juga kesedihan. Tidak menyangka namun tetap berusaha menerima atas kemungkinan yang berat, itulah cinta."

"Apa menurutmu selama ini aku gak cinta sama Aisyah, Ramz?"

Beribu kata, bahkan kalimat telah Aisyah sampaikan untuk sekedar meyakinkan Rumi bahwa istrinya kini tengah hamil.

Hingga beberapa hari setelah pertanda---Aisyah muntah---muncul, ketidak yakinan Rumi mulai runtuh usai kemunculan pertanda yang lain bahwa istrinya tengah hamil. Seperti: Aisyah yang tak haid selama beberapa hari. Rumi putuskan: sepulang kerja ia mampir ke sebuah apotik, membeli testpack untuk mencari kebenaran Aisyah. Hingga sampai dirumah, Aisyah keluar dari kamar mandi dengan muka amat ceria, lalu menjumpai Rumi yang tengah berdiri di depan wastafel tengah mencuci piring. Aisyah menunjukkan hasil testpack-nya kepada Rumi. Ia menerimanya, terlihat 2 garis biru yang berarti Aisyah telah positif hamil.

"Ay?" Rumi membulatkan matanya masih tak percaya.

Aisyah mengernyit sambil tersenyum lebar. "Kenapa?"

Rumi pandang lagi testpack-nya. "Ini gak mungkin. Ini gak mungkin. Ini gak mungkin."

"Kenapa, Mas?" Aisyah bertanya lagi. "Kamu kenapa?"

Masih tak yakin. Dan dengan suara yang terasa berat untuk disampaikan, Rumi titahkan: "Ba'da sholat isya' nanti kita ke dokter kandungan."

Luntur sudah wajah gembira Aisyah dibuatnya. Hanya ada kebingungan dan rasa takut. Apa yang tengah Rumi pikirkan?

💐

Malam pun tiba.

Tiada kehadiran sang rembulan yang biasanya tampak cantik dengan berhias miliaran bintang.

Selepas USG, Rumi mendongakkan pandangannya, menatap seorang dokter---perempuan China Islam---dengan ekspresi bibir membentuk sebuah garis datar.

Aisyah, tatapannya seolah penuh kedilemaan. Kendati wajahnya tertutup cadar, namun matanya tak bisa berbohong.

Lantas Aisyah meraih tangan suaminya di atas meja dengan tetap memegang hasil tes kehamilan. Bule itu mengelusnya dengan penuh kelembutan, namun tak ubahnya ekspresi dari mimik wajah Rumi.

Kota 7 NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang