Rumi terduduk di bangku ruang makan, tepat berhadap-hadapan dengan ayahnya; tengah asik makan malam. Namun tak dijumpai Aisyah berada di samping pria itu.
"Istrimu mana, Sein?" tanya pak Umar yang kemudian satu suap nasi masuk ke dalam mulutnya.
"Di kamar, Yah, kecapekan katanya," balas Rumi dengan berlagak santai.
Pak Umar menganguk paham. "Bilang ke dia, masakannya enak! Gak rugi kamu dapetin dia."
Rumi terkekeh. "Jelas! Istri Husein emang masakannya gak pernah gagal. Dan..."
Ucapan Rumi terpotong saat didapatinya Aisyah yang muncul dari arah belakang—berjalan menuju wastafel dengan membawa piring sisa makannya di kamar.
Lantas, Rumi meneruskan bicaranya dengan suara yang sedikit dikeraskan. "...Husein nemu masakan yang seenak masakan ibuk, itu cuma di masakan Aisyah, Yah! He-he-he."
Aisyah yang tengah sibuk mengusap piring dengan spons berselimut sabun pun tersenyum di balik cadar cintanya.
Pak Umar membalikkan badannya dan menatap Aisyah. "Syah, tak akoni bener omongan'e anakku! Masakanmu enaaaaakkkk tenan! Gak salah Husein milih awakmu." (Syah, saya akui bener perkataan anakku! Masakanmu benar-benar enak! Gak salah Husein milih kamu.)
Aisyah melebarkan senyumnya. Bingung, harus senang atau bertahan dengan egonya yang masih mengendap di hati.
Sesaat wanita itu menoleh ke sumber suara. "M-makasih, Yah."
"Logatmu kurang medok. Orang mana sampean?" tanya pak Umar sembari mengernyit.
"Orang Rusia, Yah! Jadi, keluarga dia pindah dan jadi W.N.I. di Indonesia," sahut Rumi menjawab pertanyaan ayahnya.
"Oh, ya? Kenapa pindah ke Indo?" pak Umar bertanya lagi.
"Karena perang sama negara sebelah, Yah," balas Aisyah dengan tenang.
"Eh! Aku gak melu-melu nak iki." Rumi dibuat panik oleh jawaban istrinya yang begitu mengerikan. (Aku tidak ikut-ikut kalau ini.)
Lantas Aisyah pun meletakkan piring yang usai ia cuci di rak tempat piring. Kemudian berjalan kembali menuju kamar dengan mata yang tajam menusuk jantung Rumi.
"Jangan lupa dicuci sendiri piringnya!" ucap Aisyah cuek.
Rumi mengangguk dengan senyuman manis manja kepada Aisyah yang cantik.
"Kalian marahan?"
Rumi menuangkan air yang berada di teko ke dalam gelas sembari menjawab, "Enggak, caper aja dia, Yah. Pengen ditemenin."
Pak Umar tertawa kecil mendengarnya. "Oh, iya! Ayah denger, katanya, pak Amri meninggal."
Rumi meletakkan sendoknya di atas piring dengan posisi terbalik. Makanannya sudah habis, sekarang tinggal ia minum segelas air yang telah ia tuang.
"Alhamdulillah..." syukur Rumi sembari mengelap kumis tipisnya yang basah oleh air minum. "Ya udah, Yah, Husein ke kamar dulu, mau nemenin Aisyah."
"Oh, Iya, Le."
Setelah pak Umar mengizinkan Rumi untuk pamit menemani istrinya pun kini ia mulai bergegas menuju kamar. Hingga di dalam kamar, ia melihat istrinya yang tengah asik bermain ponsel sembari meneguk segelas air putih yang kemudian ia letakkan kembali di atas meja kecil samping ranjang.
Rumi menutup kembali pintu kamar. Dan mulailah ia duduk membelakangi istrinya yang juga duduk namun bersandarkan sebuah bantal di kasur.
"Bisa ajari aku silat, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota 7 Negara
Teen FictionTERBIT! Beberapa chapter dalam versi Wattpad tidak dipublish demi kepentingan penerbitan. Happy Reading, Ay.