30 | Dunia Terlalu Sempit

4.7K 371 28
                                    

Assalamualaikum wr.wb.

Sebelum kalian lanjut membaca chapter 30 cerita Kota 7 Negara, izinkan Mas Author menyampaikan suatu hal, yaitu:

Pertama, novel Kota 7 Negara telah diterima terbit di Penerbit Galaxy. (Buat yang udah follow Instagram saya pasti udah tau). Tentu semua ini juga berkat dukungan dan semangat dari kalian. Sekarang waktunya Mas Author menggarap naskah versi novelnya. Jelas harus fokus.

Kedua, tanggal 2 Juli nanti adalah hari pertama Mas Author menempuh masa KKN kampus. Mohon do'anya dari kalian semua, semoga Mas Author diberikan kelancaran dalam setiap urusan. Menjalankan tugas KKN dan menulis naskan novel dengan sebaik-baiknya. Aamiin.

Ketiga, untuk kalian yang belum follow akun Instagram Mas Author bisa follow terlebih dahulu dengan username @wp.imanezjuliq_ karena segala info mengenai cerita Kota 7 Negara dan proses penerbitannya ada di sana. Agar tidak ketinggalan infonya (kapan mulai Pre-Order), GAS FOLLOW!

Baik, itu saja yang ingin Mas Author sampaikan. Terimakasih.

Wassalamualaikum wr.wb

HAPPY READING!!!

💐

💐

💐

"Allah yang berkuasa atas segala sesuatu saja adalah Al-'Afuww (Maha Pemaaf), kenapa kita yang hanya bisa meminta kepada-Nya malah bersifat sebaliknya?"

- Rumi Al-Husein

isak tangis seorang lelaki tua yang duduk di kursi kasir toko. Dan Rumi yang bersama pak Umar pun menoleh ke arah sumber suara yang ternyata itu adalah suara pak Habib; terharu menonton drama keluarga di depan matanya.

"Pak?" panggil Rumi menyelidik.

"Ah! Em... ya!?" Pak Habib menyeka air mata. "Ada debu tadi kelilipan mata saya, Rum."

Rumi terkekeh hambar. Kemudian ia kembali menatap ayahnya dan menggeleng dengan raut wajah tenang.

"Mboten, Rumi sampun rabi, Yah, sampun gadah garwa." (Tidak! Rumi sudah menikah, Yah, udah punya istri.)

Keuntungan mana yang tak Aisyah dapatkan? Selain Rumi adalah orang yang baik, jujur dan pemaaf, ia juga seorang suami yang setia.

Pak Umar pun melebarkan senyuman. Dan dengan mata yang berbinar, ia kembali memeluk anaknya dengan erat seolah bangga kendati diselimuti rasa bersalah.

Eratnya pelukan pak Umar sungguh membuat anaknya sesak nafas. Perutmu kebesaran, Pak!

"Ayah, lepas, Yah!" celetuk Rumi sambil menepuk-nepuk badan ayahnya karena kesusahan mengambil nafas.

Rumi menghela nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya lega. Saat dirasa nafas telah kembali normal, ia pun mulai menatap ayahnya kembali sambil menarik sebuah senyuman.

Sungguh, tiada kata canggung pada pertemuan mereka. Seperti dua insan yang sudah sejak sedari lama saling merindu. Hingga akhirnya mereka lampiaskan pada momen itu.

Kota 7 NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang