29 | Pelukan Yang Diimpikan

4K 347 20
                                    

Tring!

Dering telephone pada ponsel milik Rumi yang tengah berada pada genggaman Aisyah. Terdapat sebuah nama kontaknya. Ardha. Lelaki itu? Ada apakah gerangan?

Aisyah mengangkatnya.

"Hallo, Rum...?" sapa Ardha dalam telephone.

"Hi, kenapa, Ardha?" balas Aisyah.

"Rumi dimana?" tanya Ardha.

"Tidak tau, dia belum pulang. Padahal ini sudah larut sore."

Seketika suara balasan telephone tersebut beralih kepada suara Anggun, istri Ardha yang mungkin tengah berada di sampingnya.

"Oh, jadi suamimu belum pulang, Syah?" tanya Anggun.

"Anggun?"

"Iya, ini aku, Bund."

"Ha-ha-ha!" Aisyah terbahak. "Ada apa, Anggun?"

Anggun terkekeh kecil. "Jadi gini... Tadi Ardha ngajak aku buat besok kami ziarah ke makam Kyai Ageng Basyariyah desa Sewulan. Terus aku punya ide buat ngajak kamu sama Rumi ke sana. Gimana? Kamu mau ikut, gak? Nanti kita berangkat bareng pakai mobil ayahku, kalau kamu mau."

Aisyah menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Em... Bagaimana, ya? Rumi belum pulang. Nanti aku telfon lagi kalau dia udah pulang, bagaimana?"

"Itu lebih baik."

"He-he! Iya, Anggun." Aisyah tersenyum lebar. "By the way, bagaimana kabarmu?"

"Baik, alhamdulillah... Kamu?"

"Alhamdulillah, aku juga baik, Anggun."

"Gimana perkembangan calon bayimu, Syah?"

Aisyah terkejut. "Darimana kamu tau soal itu?"

"Ardha ngasih tau aku..."

Huft! Rupanya baik Ramzi, maupun Ardha, hingga ke istrinya pun informasi mengenai kehamilan Aisyah sudah merembet ke mereka. Betapa malunya pasutri itu dibuatnya.

"Em... Alhamdulliah, do'akan calon bayinya sehat, ya?" balas Aisyah tersenyum hambar.

"Aamiin, pastinya."

💐

"Husein...?"

Tak sadar, sesosok lelaki tua dengan kaos polo bergaris telah berdiri sampai tepat di depan Rumi dan pak Habib.

Sontak pak Habib langsung berdiri dan menyalami orang itu. Dengan perasaan gugupnya, pak Habib seolah menanti reaksi apa yang akan terjadi setelah ini.

Lantas Rumi, ia tak merespon ucapan pak Umar. Rumi mendongakkan kembali pandangannya dan menatap orang itu sebentar. Lalu dengan acuh ia beranjak pergi meninggalkan tempat duduknya.

"Sepurane ayah wis ninggalne awakmu, Husein..." ucap lelaki bernama Umar itu. (Maafin ayah udah ninggalin kamu, Husein.)

Kota 7 NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang