Puding Mangga (1)

2.2K 214 7
                                        

Suara langkah kaki yang sengaja dikuatkan memenuhi seisi rumah di pagi hari. Sang pemilik langkah yang merasa tidak digubris mulai berseru. "Guys. Liat dulu dong."

Semuanya mengalihkan perhatiannya ke arah Janu yang sudah berdiri tegap dengan setelan jas lengkap. Dasi berwarna biru tua juga melengkapi setelah jas biru itu. Terlihat sangat bagus meski pada bagian lengan terlihat sedikit sempit karena otot lengan Janu yang besar. Sepatu formal yang mengkilap semakin menyempurnakan penampilannya.

"Ok gak?"

"Gini Mas. Ok sih." Harna berdiri dari posisinya dan berjalan mendekat ke arah Janu. Matanya mengamati benda - benda yang dipakai oleh Janu dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Tapi dilihat - lihat kayak kenal sama bajunya. Jasnya juga."

"Sepatunya juga kayak kenal." Marda ikut menimpali.

"Memang punya kamu ini Na. Mas pinjam ya buat seminar. Harus pake jas biru soalnya. Kalau sepatunya juga punya Mas Mar hehe."

"Memang punya Mas itu. Sepatu kamu kan sepatu lari semua Jan." Marda hanya geleng - geleng kepala melihat tingkah adiknya.

"Gak sempit Mas? Tangannya aja udah mau meledak gitu." Harkan berkomentar dengan sedikit terkekeh.

"Tangannya doang kok. Udah ya, udah telat nih. Janu yang paling ganteng berangkat dulu."

Saat Janu mau mengambil kunci keretanya tangannya ditahan oleh Marda. "Bareng Mas aja berangkatnya, naik mobil. Sekalian Mas urus berkas di kampus. Naik motor yang ada lecet tuh sepatu."

***

Perginya Janu dan Marda meninggalkan hanya Harna dan Harkan di rumah. Harna tidak ada kelas hari ini. Keduanya sibuk dengan tugas kuliah dan belajar belakangan ini dikarenakan UTS yang semakin dekat. Pagi ini mereka memutuskan untuk belajar di meja makan. Ingin ganti suasana katanya.

Setelah sekitar 1 jam berkutat dengan tugasnya, Harkan mulai meletakkan kepalanya di atas meja. Rasa nyeri seperti terhimpit mulai menghujam dadanya. Rasa sakit itu membuat seluruh tubuhnya terasa kebas dan napasnya menjadi pendek. Kepalanya ikut terasa sakit. "Eugnh..."

Harna mendengar lenguhan Harkan dan melihat Harkan dengan kondisi yang tidak baik mulai sedikit panik, namun ia berusaha tenang. "Mau baring dulu? Aku bantu ke kamar ya." Harkan hanya menganggukkan kepalanya yang dia benamkan di lipatan tangannya.

Harna merangkul pundak Harkan dan mengangkat tubuhnya. Namun tubuh Harkan langsung terjatuh, tubuhnya yang oleng menyenggol tongkatnya yang disenderkan di meja. Untungnya dengan sigap Harna menahan tubuh itu. Tangan kanan Harkan sudah menggengam erat dadanya. Bibirnya yang sudah mulai membiru merintih kesakitan beriringan dengan smart watch yang berbunyi nyaring.

"Kan!"

Harna mendudukkan Harkan dilantai dengan tubuhnya sebagai sandaran. Kepala Harkan yang sudah basah oleh bulir keringat sebesar biji jagung bersandar lemah di dadanya. Matanya tertutup sempurna. Nafasnya tersengal.

Harna merogoh kantongnya untuk mengambil obat Harkan yang selalu dibawanya. Ia meletakkan sebutir obat di bawah lidah Harkan dengan gemetar. Tangannya mengelus lembut dada Harkan. Menyingkirkan tangan Harkan yang masih meremas kuat. "Sebentar lagi sakitnya hilang... yang kuat Kan..."

"Aku gendong ke kamar ya." Harna langsung mengangkat tubuh Harkan yang sudah terkulai lemah tanpa menunggu jawaban.

Begitu sampai di kamar dengan sigap Harna memakaikan masker oksigen dan memposisikan tempat tidur elektrik Harkan dengan tegak untuk membantu jalan nafasnya. Suara nafas Harkan terdengar sangat buruk.

"Kan.. Rumah sakit?" Tangan Harna sudah digenggam Harkan sekuat tenaga, menyalurkan rasa sakit yang dirasakan. Dengan atau tanpa persetujuan, Harna akan membawa Harkan ke rumah sakit jika kondisinya tidak membaik dalam waktu 5 menit ke depan.

Harkan menggeleng lemah. "Ja.. ngan bilang Mas... Nanti..." Harkan terbatuk disela kalimatnya. Ia berusaha mengatur nafasnya. "Nanti me.. reka khawatir..." Harkan kembali terbatuk dengan lebih keras. Harna hanya dapat mendengarkan dan menunggu dengan sabar sambil menggengam tangan Harkan yang dingin. "Mas Janu... lagi.. acara."

Merasa nafas Harkan juga sudah mulai teratur Harna hanya dapat mengiyakan permintaan Harkan. "Istirahat Mas, aku gak kemana - mana."

***
"Kok sepi?" Marda dan Janu baru saja sampai di rumah. Biasanya jika masih belum terlalu malam mereka akan disambut oleh Harkan.

Mereka memutuskan untuk mengecek langsung ke kamar si kembar. Janu membuka pintu perlahan dan melihat Harkan sedang terbaring lemah dengan masker oksigen. Selimut tebal sudah menyelimuti tubuhnya hingga leher. Wajahnya yang tidak tertutup selimut tampak pucat dengan raut kesakitan yang masih terlihat jelas.

"Kambuh Na? Kenapa gak ngabari?" Janu sudah merapat ke ranjang Harkan. Mengecek tekanan oksigen yang mengalir.

"Iya Mas, serangan ringan tadi. Kan kita udah janji sama Harkan selama gak butuh ke rumah sakit gak boleh ngabari yang lain..." Itu adalah peraturan yang Harkan buat. Dia tidak ingin selalu membuat khawatir yang lain.

"Kok jadi sering drop gini sih dek..." Marda mengelus rambut Harkan yang lepek. Rasanya tidak tega setiap melihat Harkan kesakitan setiap kambuh seperti ini. Meski sudah berulang kali bukan berarti mereka dapat terbiasa. "Kapan Na kambuhnya?"

"Gak lama setelah kalian pamit Mas"

Marda melirik semangkuk bubur yang sudah dingin di nakas samping tempat tidur. Buburnya masih terlihat penuh dan hanya sedikit berantakan. "Cuma makan sedikit ya? Sesak?", pertanyaan Marda hanya dijawab dengan anggukan singkat oleh Harkan.

"Udah makan Na? Dari tadi pasti jaga Harkan terus kan." Marda hapal betul kalau Harna akan lupa mengurus dirinya sendiri jika Harkan sedang drop seperti ini.

"Harna belum makan..." yang menjawab adalah Harkan, bukan Harna.

Harna tersenyum kecil mendengarnya, ia mengusap pelan tangan kembarannya yang digenggamnya sedari tadi "Aku makan dulu ya Mas, nanti aku balik lagi." Harna bangkit dan meningglkan kamar mereka. Dia tidak ingin membebani fikiran Harkan.

"Lucu ya, Harna cuma manggil Harkan pake embel embel Mas kalau lagi kayak gini. Coba sehari hari, pasti dia gamau" Janu berkomentar setelah meninggalkan ruangan. Marda tertawa pelan mendengarnya.

Janu membuka hp dan mengecek kalemder "Jadwal check upnya kapan? Kita percepat jadi besok aja gimana Mas?"

"Mas setuju." Marda membenarkan saran Janu. Tangannya masih sibuk mengusap kepala Harkan, berusaha memberikan kenyamanan.

"Mas jan..." Harkan memanggil Janu dengan lirih.

"Kenapa Kan? Sesak? Ada yang sakit?" Janu mendekatkan kepalanya dengan Harkan. Harkan menggelengkan kepalany pelan.

"Ceritai... seminar Mas..."

Janu tidak habis pikir. Adiknya yang satu ini selalu sempat memikirkan orang lain dikondisi seperti apapun.

"Biasa aja sih. Tapi sepanjang seminar Mas gabisa kasih pertanyaan."

"Kenapa Jan?" Marda ikut penasaran.

"Soalnya jasnya sempit, jadi gabisa angkat tangan hehehe..."

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang