Pencuci Mulut

1.7K 233 45
                                    

Sudah sebulan Harna menempati kamarnya seorang diri. Tapi ia belum menggeser satupun barang milik Harkan. Ia ingin mempertahankan segala kenangan yang tersisa.

Tidak jarang ia memilih untuk tidur dengan posisi duduk di sisi ranjang Harkan. Berharap ia akan dibangunkan karena Harkan tidak ingin punggungnya sakit.

"Jangan gitu tidurnya Na, punggungnya nanti sakit."

Dia terbangun memang, tapi bukan oleh Harkan. Marda dan Janu yang membangunkannya. Mereka berdua selalu mengecek kamar itu setiap malam. Sebuah kebiasaan yang belum dapat mereka hilangkan.

Tempat tidur itu akan tetap kosong dan tidak akan pernah terisi lagi oleh pemiliknya. Kursi roda Harkan juga sudah terlipat rapi di samping ranjangnya

Mulai hari ini mereka akan memilah barang - barang milik Harkan. Beberapa akan mereka simpan, beberapa akan disumbangkan sesuai pesan Harkan. Sejak dulu Harkan sering berpesan jika dia sudah tidak ada dia harap segala alat - alat medis yang dimilikinya dapat disumbangkan untuk mereka yang membutuhkan. Karena ia tahu itu semua harganya cukup mahal.

Dulu mereka menanggapinya dengan candaan, suatu saat itu semua memang akan disumbangkan karena Harkan sembuh dan tidak membutuhkannya lagi. Harkan akan mampu berjalan tanpa kursi roda dan tongkatnya.

Tapi tidak salah juga, sekarang Harkan sudah sembuh.

Setelah kamar ini kosong, kepergian Harkan rasanya semakin nyata. Harna harus memulai hidupnya seorang diri. Tidak ada lagi orang yang menyambutnya setiap ia pulang. Tidak ada lagi orang yang menyapanya setiap pagi. Rasanya hampa.

Meski berada di kamar yang sama, mereka berdua menjaga privasi masing - masing. Tidak ada yang menyentuh barang satu sama lain tanpa izin. Kecuali obat - obatan Harkan tentunya.

Jadi inilah pertama kali ia mengumpulkan barang - barang Harkan. Saat ia membuka laci, ia menemukan sebuah buku yang berisikan beberapa catatan. Setiap halamannya berisi resep dan foto masakan yang Harkan masak selama ini.

Air mata Harna mengalir deras saat membacanya. Itu bukanlah catatan resep biasa. Setiap resep memiliki sebuah footnote.

"Cookies untuk Harna buat rasa kopi."

"Setiap resep buat Mas Janu gulanya ditambah dari resep asli."

"Mas Marda suka semangka, tapi gak suka yang warna kuning."

"Ayah suka dark coklat yang 85%"

Dan masih banyak catatan lainnya. Sejak dulu Harkan memang sangat menganggap makanan itu sesuatu yang harus dihargai. Sebagai orang yang memiliki banyak pantangan, Harkan menikmati setiap suapan makanannya.

"Makan itu jangan cuma ngenyangi perut Na, harus buat kita senang juga. Jiwa kan juga butuh makananan, gak cuma raga."

Setelah menutup buku dengan ukiran tulisan Food of Soul di sampulnya itu, Harna beralih membongkar  lemari. Ponsel, laptop, baju. Semuanya ia amati dengan seksama. Semua benda itu pada akhirnya kembali padanya. Benda - benda yang sudah tidak ia pakai atau ia sudah dapatkan yang baru lalu diberikan ke Harkan.

"Pinjam dulu ya Na. Nanti aku kembalikan."

Tidak sedikitpun Harna berharap barang ini dikembalikan, apalagi dengan cara seperti ini. Diantara semua ini hanya dua benda yang memang merupakan milik Harkan. Sepatu pemberian Janu dan cardigan pemberiannya yang selalu Harkan pakai sehari - hari.

Ia akan menyimpan dan memakai kedua benda itu.

"Aku pinjam ya Kan."

Dia sudah berjanji kepada Harkan untuk kuat menjalani ini semua. Ia harus menepati janji itu. Harna merasa malu jika ia tidak dapat kuat. Harkan saja sanggup melewati ini semua.

Dan hanya itu janjinya. Ia tidak berjanji kalau dia tidak akan hancur. Harna tetap hancur, hanya saja kepingan hati itu tersusun rapi. Direkatkan oleh kenangan yang tertinggal. Sehingga tidak terlalu terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama.

***

Biasanya di Minggu pagi Janu akan jogging keliling komplek. Lalu saat pulang sudah ada Harkan yang menyambutnya. Terkadang ia disiapkan sarapan oleh adiknya itu jika kondisinya sedang baik. Mereka akan menghabiskan waktu berdua. Harkan akan mendengarkan dengan semangat segala yang diceritakan Janu.

Harkan selalu bilang cerita Janu selalu menarik baginya. Karena segala yang Janu lakukan adalah dunia yang tidak akan pernah tersentuh oleh Harkan. Olahraga, pertemanan, kuliah, dan Janu yang dulu dekat dengan Ayah.

Sekarang Janu mengganti waktu kebiasaan larinya menjadi malam. Meski badannya lelah setelah pulang dari kampus, ia tetap melakukan rutinitas barunya itu. Dengan harap sebuah pesan masuk ke ponselnya.

"Mas kok belum pulang? Lari kok malam - malam sih Mas."

Seluruh pesan - pesan Harkan diponselnya ia simpan dengan baik. Bahkan nomor yang dipakai Harkan telah ia isi dengan pulsa sebanyak mungkin agar tetap aktif. Setiap harinya ia masih mengirim pesan ke nomor itu. Berbagi meme ataupun sesuatu yang menarik seperti yang biasa ia lakukan.

Tidak lupa ia tetap bercerita. Baik itu melalui chat atau voice note. Dia harus tetap pamer ke Harkan tentang hari - harinya. Bedanya sekarang ia tidak dapat mendengar Harkan memberi berkomentar pada setiap ceritanya.

"Aku selalu bingung sama Mas, ada aja yang bisa diceritai setiap hari."

Konyol rasanya jika orang tau ia melakukan ini.

Ada kelebihan lainnya jika ia berlari di malam hari. Ia dapat menatap bulan.

Jika saat siang hari matanya tidak akan sanggup melihat sinar matahari. Tapi dengan bulan, ia dapat menikmati sinar matahari yang dipantulkan.

Indah sekali, cahaya bulan bersinar di gelapnya malam. Tenang dan menyejukkan. Seperti senyumnya Harkan. Senyum yang selalu terbit segelap apapun hari yang dilewatinya.

***

Kini Marda berdiri di depan sebuah pintu. Seminggu sekali ia akan berkunjung ke sini. Kunjungan kali ini akan menjadi yang terakhir kalinya.

"Marda, ayo masuk."

Marda masuk dan meletakkan sekotak bolu kukus di atas meja.

"Ini buatan siapa? Harkan?"

"Harkan sehat? Harkan gak kambuh kan?"

"Harkan katanya mau libura ke Lembang. Ayo kita pergi Marda!"

"Harkan mau laptop baru ya?"

"Harkan mana? Kok gak pernah jumpai Ayah?"

"Ayah rindu Harkan. Kok Harkan gak pernah jumpai Ayah, Harkan marah ya sama Ayah? Bujuk Harkan dong Marda, bilang nanti Ayah temani check up."

Marda tidak sanggup lagi menanggapi. Dia hanya diam dan menangis. Pertahanannya runtuh.

Sepeninggal Harkan, Ayah menjadi orang linglung seperti ini. Ia tidak dapat menerima kepergian Harkan. Di kepalanya, Harkan masih ada dan menunggunya.

Istri dan anaknya? Mereka lepas tangan. Menyerahkan Pram kepada para putranya. Mereka hanya mencarikan dan memberikan biaya homecare untuknya. Persis apa yang dilakukan Pram kepada Harkan dulu.

"Ayah harus ikhlas. Ayah juga gak punya hak untuk minta Harkan bertahan saat Ayah gak ada berikan dia alasan untuk bertahan."

"Ayah juga harus tau, Harkan gak pernah marah sama Ayah."

***
Buku resep ini ditulis oleh Harkan Mahendra. Dipersembahkan untuk Mas Marda, Mas Janu, dan Harna. Agar suatu saat Aku udah gak bisa masak, kalian tetap bisa makan masakan aku.
***

Halo semuanya!

Aku mau mengucapkan terimakasih untuk kalian semua yang sudah meluangkan waktu.

Meski cerita ini selesai, jangan dihapus dari reading list kalian ya! Sekali - sekali aku bakal upload ekstra part. Jika ada masukan atau kritik boleh disampaikan, agar aku bisa terus improve.

Kalau punya ide cerita feel free untuk kasih tau aku.

Sekali lagi, terimakasih. \(^v^)/

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang