Harkan tidak dapat mengetahui secara pasti sudah berapa lama ia di rumah sakit. Hal yang dia ketahui hanyalah ia mengalami koma selama 9 hari. Setelahnya dia masih cukup linglung dan tidak menghitung. Tapi dia merasa sudah cukup lama berada di rumah sakit. Mungkin sudah sekitar tiga minggu.
Kondisinya perlahan sudah semakin membaik. Dia sudah dapat berkomunimasi dan menggerakkan sedikit bagian tubuhnya. Setelah mendapat penjelasan dari dokter dan saudaranya, masih dapat membuka mata saja dia sangat bersyurkur. Ditambah lagi komplikasi berupa stroke yang mungkin terjadi. Dia tidak berharap terlalu muluk dengan proses pemulihannya. Yang dikhawatirkan hanyalah ia sadar akan semakin merepotkan.
Jantungnya yang memang sudah bermasalah sejak lahir sudah cukup membuatnya kewalahan melakukan aktivitas sehari - hari. Sekarang dia harus mendapat kabar bahwa paru - parunya mengalami penurunan fungsi. Dia tidak akan bisa lepas dari oksigen tambahan dalam waktu lama mulai saat ini.
Dokter juga menyatakan bahwa aktivitas fisiknya harus dikurangi. Saat ini saja aktivitasnya sudah tidak seberapa, dia tidak tau bagian mana lagi yang harus dikurangi. Untuk berjalan saja dia harus memakai alat bantu atau dipapah, sepertinya dia akan semakin sering duduk di kursi roda.
"Mikiri apa?" Harna baru selesai membereskan peralatan yang digunakan untuk membersihkan tubuh Harkan tadi. Sejak pagi Harna lah yang menemani. Setelah membantu Harkan membersihkan diri, ia mengubah posisi Harkan menjadi berbaring ke samping agar tidak terjadi bed sore. Tidak lupa Harna meletakkan guling diantara lengan Harkan untuk menahan tubuh bagian depan.
"Gaada Na." dengan senyuman tipis Harkan menjawab agar meyakinkan bahwa ia baik - baik saja.
Harna mendekat dan mengambil posisi duduk di kursi samping ranjang. "Yakin? Kalau ada apa - apa dibilang, jangan disimpan sendiri."
Harkan hanya memberikan anggukan singkat sebagai jawaban. Kalau ia menyampaikan isi pikirannya pasti Harna akan memberinya omelan bahwa dia sama sekali tidak merepotkan dan sebagainya. Untuk dedikasi saudara - saudaranya Harkan tidak pernah meragukan mereka. Itu juga yang membuatnya berusaha bertahan sampai saat ini, kalau tidak ia ingin menyusul Ibu saja rasanya.
"Melamun lagi. Bosan ya? Atau mau istirahat? Biar aku matikan tvnya."
"Bosan Na..." batuk menghentikan kalimatnya. Harna mengelus dada Harkan berusaha meredam nyeri di sana. Tangan Harkan belum mampu terangkat sejauh itu.
"Kapan bisa pulang?"
"Sabar dulu ya... kata dokter tunggu kondisinya stabil dulu. Malam juga masih susah tidur karena sesak kan? Kata Mas Mar tadi malam juga batuknya masih parah." Suasana kembali hening. Hanya suara tv yang memang dihidupkan dari tadi agar tidak terasa terlalu sunyi.
Sebenarnya Harkan mempetimbangkan ingin bertanya apa yang terjadi saat dia di bawa ke rumah sakit. Ingatannya cukup samar. Dia juga ingin bertanya apakah Ayah sudah pulang, apakah selama dia koma Ayah menjenguk?
Dia ingin bertanya, namun di satu sisi cukup takut dengan jawabannya. Karena di ingatan yang samar itu cukup banyak teriakan. Memperkirakan apa yang sebenarnya terjadi membuat kepalanya terasa penuh.
"Na... mau baring... pusing." Lirihnya dengan mata tertutup.
Harna membantu Harkan kembali pada posisi berbaring lurus dan menurunkan sendikit posisi tempat tidur. Tapi tetap dengan bantal yang ditinggikan, karena jika berbaring secara penuh sesaknya akan bertambah parah. Jika duduk terlalu lama dia akan kelelahan dan merasa pusing. Serba salah memang.
Harna mulai memijat pelan kepala Harkan. Berusaha membantu apa yang dia bisa. "Coba dibawa tidur aja biar pusingnya hilang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
FanfictionDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...