Roti Isi

1.2K 172 12
                                    

Suara berbagai alat medis terdengar bersaut - sautan di dalam ruangan ICCU. Harkan tampak terbaring dengan sangat tenang diantara alat - alat itu. Tidak tampak raut kesakitan seperti saat dia datang pertama kali. Sebuah selang terlihat menyumpal mulut menggantikan peran paru - parunya untuk sementara. Seluruh tubuhnya tertutup selimut, menyembunyikan lebih banyak lagi selang yang terhubung ke tubuh ringkih itu.

Ini adalah hari ke 9 Harkan dalam kondisi medicine indicude coma. Harna, Marda, dan Janu bergantian menemani Harkan saat jam besuk tiba. Meski Harkan tidak dapat merespon, mereka selalu mengajaknya berbicara. Berharap Harkan dapat mendengar mereka di alam bawah sadarnya dan tidak merasa kesepian.

"Mas Janu tadi malam tidur di tempat tidurmu lagi. Kayak gak punya kamar sendiri aja dia." Harna mengadu sambil mengelus pelan tangan Harkan yang hanya terkulai lemah. Dingin seperti tidak teraliri darah.

Saat ini jadwal Harna yang menemani Harkan. Janu dan Marda ada kegiatan di kampus, di jadwal berikutnya nanti malam mereka akan bergantian berkunjung. Ayah mereka? Terhitung hanya dua kali ia menemani Harkan. Sekali saat Harkan baru masuk ICCU, sekali lagi adalah dua hari yang lalu karena diseret oleh mereka. Setelah itu tidak ada, sibuk dengan istri dan anak perempuannya.

Mereka sudah tidak ada tenaga untuk sekadar memarahi atau melakukan tindakan seekstrim saat membawa Harkan ke IGD. Lebih baik energi yang mereka punya digunakan untuk merawat Harkan.

"Mas hebat banget. Kata dokter mulai nanti malam sedasinya udah mulai dikurangi, jadi besok Mas udah bisa bangun. Nanti kalau udah stabil, Mas bakal dipindahkan ke ruang rawat biasa. Jadi gak sendirian lagi di sini." Monolog Harna terus berlanjut. Hanya suara mesin yang berbunyi secara konstan yang menyahutinya.

"Aku pamit ya Mas, waktunya udah habis." Harna mendekatkan keningnya ke punggung tangan Harkan, menyalimnya. Suatu kebiasaan yang sering dilakukannya diam - diam kalau Harkan dalam kondisi seperti ini. Tapi dia berjanji akan terus melakukannya saat Harkan sudah sadar nanti. Urusan dia akan diledek Janu itu belakangan.

***

"Cuma satu hari! Masa gabisa!"

"Ayah udah beli tiketnya dari jauh hari Jan..."

"Ayah kira aku bodoh? Aku tau tiket pesawat bisa direschedule!"

Suara Janu yang menggelegar terdengar sampai pintu masuk. Untungnya jarak rumah mereka dengan tetangga tidak berdempetan. Jika tidak, bisa - bisa rumah mereka sudah dikerubungi warga.

Meski tidak mendengar percakapan secara utuh, Harna sudah dapat menebak topik percakapan yang terjadi. Cukup dengan nada bicara Janu yang penuh emosi, ia yakin mereka sedang membahas kepulangan Pram besok yang katanya tidak bisa ditunda itu.

Baru saja Harna akan memutar knop pintu, sudah ada yang membuka pintu dari sisi lainnya. Marda muncul dari dalam rumah dan langsung menarik Harna duduk di teras. Wajah kakak sulungnya itu tampak sangat kusut. Dia harus menjadi penengah diantara Ayah dan mereka di pertikaian ini. Harna selalu takjub dengan kesabaran Marda.

"Itu Janu udah panas banget, kayaknya bentar lagi bisa bakar rumah. Kalau kamu mau ikutan emosi juga, Mas gak izinkan masuk." Sepertinya Marda takut dia meledak juga.

"Aku capek banget Mas. Ngeliat wajahnya buat aku muak. Aku mau masuk, mau beresi barang - barang Harkan buat besok."

Harna langsung berdiri dan melangkah masuk tanpa menunggu persetujuan Marda. Rumah tampak seperti kapal pecah. Sebuah kursi sudah tergeletak di bawah. Janu tidak tampak, hanya terlihat Pram sedang memeluk istrinya beserta putrinya. Mereka tampak ketakukan. Sebut saja dia kejam, tapi melihat itu membuat Harna ingin muntah dan segera masuk ke kamar.

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang