"Itu apaan Nia?"
Gadis itu cukup terkejut saat teman seangkatannya yang cukup pendiam itu memulai percakapan. Apalagi sejak kepergian Harkan dari dunia, Harna semakin jarang mengeluarkan suara.
Jika dulu ia tidak pernah berkumpul dengan mereka karena harus menjaga Harkan. Sekarang Harna tetap tidak ikut berkumpul, namun ia tidak meberikan alasan apapun. Teman - temannya juga memaklumi dan tidak memberi komentar apapun.
"Puding mangga. Lo pernah beli dulu pas gue danusan."
Tatapan Harna berubah menjadi sendu. Ia teringat pernah membelikan Harkan makanan favoritnya itu. Dimanapun dia berada akan selalu ada hal yang mengingatkannya dengan kembarannya.
"Mau?"
"Boleh, gue ambil tiga." Jawab Harna sambil mengambil tiga cup puding dan meberikannya ke Nia.
Harna merogoh dompetnya dan membukanya. Niat awalnya ingin mengambil beberapa lembar uang untuk membayar puding itu. Tapi foto Harkan yang selalu ia taruh di dompet seakan menyapanya.
Tangannya mengambil satu cup lagi dan memasukkan ke plastik yang berisi belanjaan sebelumnya.
"Gue ambil empat jadinya. Berapa?"
***
Kini Harna sudah sampai di rumah. Ia langsung melangkah ke dapur untuk menyimpan puding yang ia beli tadi di kulkas.
Di dapur sudah ada Marda yang sibuk menyiapkan makan siang. Wajahnya tampak serius dengan alis yang tertekuk. Ia sedang fokus memilah sayuran yang akan ia pakai dengan buku resep yang Harkan tulis sebagai panduan.
Dulu dapur rumah ini selalu terasa hangat. Berbagai jenis masakan selalu tersaji. Karena seluruh penghuni rumah, kecuali Marda, adalah koki yang handal meski mereka semua adalah laki - laki. Ibu mengajarkan mereka bahwa semua orang harus bisa memasak. Ditambah salah satu penghuni rumah yang memiliki banyak pantangan perihal makanan dan tidak bisa sembarangan membeli makan di luar.
Tapi kini hampir setiap hari mereka hanya membeli makanan di luar. Tempat sampah dipenuhi wadah - wadah plastik. Tidak ada yang berselera untuk masak. Masih untung mereka ingat untuk makan.
Perlahan Marda yang memiliki kemampuan memasak paling buruk mulai menghidupi suasana dapur lagi. Ia merasa kebisaan mereka untuk terus terusan membeli makanan tidaklah baik. Ia tidak ingin ada lagi adiknya yang sakit.
"Mau masak apa Mas?"
Marda mengangkat kepalanya saat sadar adik bungsunya sudah bergabung dengannya di meja makan. Ia tersenyum lebar melihat Harna. Sudah lama sekali mereka tidak berkumpul di meja makan seperti ini.
"Tumis sayur, nanti dimakan ya." jawab Marda sambil menunjukkan sebuah halaman di buku resep. Ia hanya mendapat anggukan sebagai jawaban.
"Mas..."
"Hmm?"
"Tadi malam aku mimpi Harkan lagi." ucap Harna ragu. Ia tidak yakin sanggup menceritakan perihal kembarannya yang mampir di mimpinya.
"Kalian ngapai di mimpi? Harkan bilang apa?" Marda menghentikan kegiatannya sejenak. Ia berikan seluruh atensinya kepada Harna.
Harna terkekeh kecil sebelum menjawab, "Random aja mimpinya Mas. Lagi ngampus bareng kayak biasa,"
"Tapi di mimpiku Harkan gak pakai kursi roda sama tongkat Mas. Kami jalan bareng, padahal biasanya jalan dikit aja Harkan udah capek."
Mata Harna sudah mulai berkaca - kaca. Ia sangat merindukan kehadiran Harkan. Setiap malam ia selalu berdoa agar Harkan singgah di mimpinya. Sejauh ini, sudah dua kali ia memimpikan kembarannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
FanfictionDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...