Jam sudah menunjukkan pukul dini hari saat ia berjalan menuju dapur untuk menghilangkan dahaganya. Ia kira semuanya sudah terlelap dalam tidur. Ternyata dugaannya salah. Ibu masih terjaga selarut ini. Terduduk seorang diri di meja makan. Segelas teh yang mengepul berada di genggamannya.
"Ibu nangis lagi? Harkan bilang apa lagi sih Bu? Kok gak siap - siap masalah ini."
Kesabarannya seperti diuji terus setiap kali melihat Ibunya dalam kondisinya yang kacau. Hilang rasa hausnya sudah.
Janu sudah mepersiapkan ceramah yang panjang untuk Harkan. Tadi dia sudah berusaha selembut mungkin untuk memahamkan adiknya. Bahkan dia sudah membangun mood adiknya terlebih dahulu agar Harkan dapat mencerna petuahnya dengan baik. Tapi sepertinya hasilnya nihil.
"Makasih banyak ya sayang tadi udah ajak Harkan jalan - jalan. Seneng banget dia. Lagi cerita, eh tiba - tiba ketiduran."
"Gimana roadtrip Bu? Harkan masih mau ikut?" Janu langsung fokus pada permasalahan yang ada. Dia tau Ibu berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Nggak, udah gak ada ngerengek lagi dia. Dia juga tau kok gak mungkin bisa ikut. Dia cuma pengen ngumpul aja sama kalian. Sedikit iri juga kalian ngobrolnya asik banget tapi dia gak diajak tadi." Ibu terkekeh mengingat Harkan yang merajuk seperti kucing setelah sarapan pagi ini.
"Tadi Ibu tanya Harkan mau hadiah apa dari Ibu. Dia bilang mau badan yang sehat." ucap Ibu dengan senyum sedih. Matanya mulai berkaca - kaca.
"Ngapai dia ngomong kayak gitu sih Bu. Aku gak suka lihat Ibu sedih gini. Tadi aku udah negur Harkan buat gak ngeluh terus sampe buat Ibu kepikiran. Dia udah besar Bu. Harusnya dia udah bisa milah yang mana harus diungkapi, yang mana harus disimpan." Janu masih bersikeras dengan pendapatnya. Ia masih belum menemukan celah untuk melunakkan hatinya.
Ahh, akhirnya Ibu paham apa yang terjadi. Mengapa anaknya tampak murung lagi.
"Kalau Mas capek, tutup telinga aja. Tapi jangan disuruh adiknya berhenti buat bilang apa yang lagi dia rasai," Ibu menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Mas tahan sedikit ya capek dengar adiknya ngeluh? Kita cuma disuruh dengeri kok. Gak disuruh ngerasai sakit yang sama. Mana sanggup kita Jan. Manusia super adikmu itu."
Tanpa mereka sadari, Harna yang juga terbangun malam itu mendengar semua percakapan mereka.
***
"Masih sesak?"
Marda duduk di kursi samping ranjang Harkan. Memandangi selang yang melintang di wajah pucat adiknya itu.
Saat ia pulang, Ibu mengabarkan adiknya itu mendapat serangan ringan. Ibu memintanya untuk stand by sebentar. Khawatir Harkan tiba - tiba butuh ke rumah sakit.
"Dadanya masih sakit gak? Kata Ibu kalau makin gak nyaman harus ke rumah sakit."
"Mau peluk..."
Tanpa ragu Marda memeluk tubuh adiknya yang sedang terbaring lemah itu. Harkan sering memeluk mereka karena ingin menyalurkan rasa sakitnya atau memberi kode bahwa ia sedang merasa kurang nyaman. Marda hapal kebiasaan adiknya yang ini.
Diantara seluruh saudaranya, Marda selalu punya tempat khusus di hati Harkan.
Marda adalah orang yang paling sering bersamanya setelah Ibu. Meski ia tau Marda melakukan itu semua karena tanggung jawabnya sebagai anak tertua. Tapi Harkan merasa cukup senang karena Marda melakukannya dengan sangat baik.
Terkadang memang sedikit terasa bahwa ia melakukannya dengan setengah hati. Harkan akan memaklumi saja. Siapa yang tidak kesal jika sudah memiliki janji untuk pergi dengan orang lain malah terpaksa dibatalkan karena harus menunggunya yang sedang kambuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
Fiksi PenggemarDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...