Malam semakin larut. Hanya keheningan yang mengisi rumah. Setelah makan malam yang kurang "berhasil" dan semuanya (kecuali Marda) meninggalkan meja makan, tidak ada percakapan yang terjadi. Marda melanjutkan makannya dalam diam, begitu juga dengan Bude.Setelah selesai makan, Marda mulai merapikan piring - piring kotor dan mengangkatnya ke wastafel cuci piring. 'Cucinya besok pagi aja deh' gumam Marda dalam hati.
"Panggil adik - adikmu itu buat beresi meja sama cuci piring. Masa kamu sendiri." suara Bude membuyarkan lamunan Marda. Ia hampir lupa bahwa ia tidak sendirian di ruang makan.
"Gapapa Bude, mereka tadi udah masak. Gantian giliran Marda yang cuci piring sekarang." jawab Marda sambil tersenyum. Rencananya untuk menunda cuci piring gagal sudah.
"Ya sudah. Terserah kamu.."
Marda memulai kegiatan mencuci piringnya dalam diam. Hanya terdengar suara air mengalir dan piring yang sedang dibilas. Pikirannya sedang sibuk mempertimbangkan sesuatu.
"Bude... Marda boleh bilang sesuatu?"
"Hmm. Ya bilang aja." Bude masih duduk di meja makan, menemani Marda.
Marda menarik nafas dalam sebelum memulai kalimatnya, "Sebelumnya Marda mau bilang. Marda seneng banget setiap Bude ke sini. Sejak Ibu gak ada, Bude satu satunya orang yang paling mirip Ibu bagi kami. Rasanya rindu kami sedikit terobati."
"Kalau gada Bude kami gaakan beres - beres rumah sebersih ini. Bahan - bahan di dapur juga gaakan lengkap. Omelan Bude juga buat suasana rumah hidup lagi.
Tapi...." Marda menyudahi cuci piringnya dengan mengeringkan sendok terakhir.
"Tapi?"
Marda tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Dia mengambil posisi duduk di kursi sebelah Bude. Mengepalkan kedua tangannya di atas meja makan, memainkan kedua jempolnya. Matanya tidak berani menatap langsung lawan bicaranya. "Perihal cuti kuliah dan Harkan... Bude tau sendiri dari dulu Ibu yang selalu jaga Harkan. Ibu gak pernah pekerjakan perawat atau siapapun buat ngerawat Harkan... secapek apapun itu. Meski Ibu jadinya gabisa kemana mana dan harus berhenti kerja. Kalau kata Ibu 'Ibu paling gak berani ngeluh di depan Harkan, karena apa yang kita rasai belum ada apa apanya yang dirasakan Harkan setiap hari'."
"Lalu... setelah Ibu gak ada, Ayah tetap dengan kesibukannya. Kami juga sekolah dan kuliah saat itu. Gak ada pilihan lain selain mempekerjakan orang buat jaga Harkan." Marda berhenti sejenak dan menggeleng singkat. Ia langsung meralat kalimatnya. "Bukan gak ada pilihan, kami aja yang sok sibuk sendiri. Tanpa memikirkan Harkan juga kehilangan Ibu dan dia gak ngeluh sama sekali."
"Sampai dihari itu. Harkan minta ditemani di rumah. Dia ngeluh sakit kepala dan dadanya terasa nyeri. Tapi kami menanggap itu memang hal yang sering Harkan alami dan sudah biasa. Kami jahat ya Bude? Harkan tetap tersenyum saat kami bilang gak bisa menemani dia di rumah. Harkan gak marah sama kami"
'Iya gapapa Mas. Kuliahnya lagi sibuk banget ya? Jangan lupa makan di kampus ya Mas' Marda teringat lagi dengan ucapan Harkan di hari itu.
"Tiba tiba kami dapat kabar. Harkan kehilangan kesadaran dan mengalami serangan jantung. Perawat yang jaga Harkan ternyata gak terus bersama Harkan. Harkan hampir terlambat ditangani...", Marda berhenti sejenak. Sekelebat ingatan tentang hari itu muncul. Bagaimana saat dia sedang berkumpul dengan teman - temannya, Marda mendapat telpon panik Harna bahwa Harkan mengalami flat line.
"Saat dokter bilang seharusnya Harkan udah merasakan gejalanya dari lama, disitu Marda merasa gagal menjadi seroang kakak. Padahal Harkan kesakitan, tapi Marda abai..."
Bude menatap sendu Marda dan perlahan menggenggam tangan Marda. Berusaha memisahkan jari Marda yang sedang menyakiti satu sama lain."Harna dan Janu juga masih belum bisa maafkan dirinya sendiri sampai saat ini. Karena keegoisan kami, kami hampir kehilangan Harkan."
"Bude... cukup Ibu aja. Kalau harus kehilangan lagi..." kalimat Marda berhenti, dia tidak sanggup melanjutkannya lagi. Suaranya tercekat. Air mata sudah mengalir deras membayangkan hal buruk mungkin yang terjadi. Dadanya sesak membayangkan mataharinya ikut hilang, cukup dunianya saja. Jangan ada lagi.
Bude memeluk Marda dan mengusap punggungnya dengan lembut, berusaha menenangkan laki - laki itu. "Kamu adalah kakak terbaik yang mereka punya. Ibu pasti sangat bangga sama kamu."
***
Di kamar si kembar, Harna sedang membantu Harkan untuk bersiap sebelum tidur. Harkan benar benar sudah sangat kelelahan dan merasa sangat lemas. Dia bahkan telah memuntahkan seluruh makan malamnya begitu sampai di kamar.
Setelah merapatkan selimut Harkan sampai leher Harna mulai mengatur tempat tidur Harkan sedikit tegak untuk memudahkannya bernapas. Harna juga memakaikan nasal cannula ke hidung Harkan.
"Harkan udah tidur Na?" Janu memasuki kamar. Malam ini dia tidur di sini karena kamarnya dijadikan kamar Bude. Sebenarnya Marda sudah menyuruhnya untuk tidur di kamarnya, tapi Janu paham Mas nya itu sedang butuh waktu sendiri setelah menghadapi Bude.
"Belum mas. Tadi sempat muntah - muntah. Dadanga juga sakit. Tapi udah minum obat kok." jawab Harna sambil mengelap keringat dingin yang bercucuran di dahi Harkan.
Melihat Harkan yang masih terlihat meraup oksigen dengan sulit Janu mulai meningkatkan tekanan oksigen yang mengalir. "Kan, tekanannya mas naikkan ya?" Harkan hanya mengangguk lemah sambil memejamkan matanya.
Setelah beberapa menit Harkan terlihat kebih tenang. Dalam diam Harna memijat kaki dan Janu memijat lengan kiri Harkan.
"Mas... Na.. tidur aja.. aku gapapa... cuma kecapekan aja." Harkan memecah keheningan dengan suara lemahnya yang hampir tidak terdengar.
"Dan banyak pikiran?" Janu menatap mata sayu Harkan. Adiknya yang satu ini memang punya hobi menyimpan semuanya sendiri.
Harkan diam sejenak, pernyataan Janu tepat sasaran. "Nggak mas."
"Kan. Kamu bisa bohong sama Mas Mar, Harna, Ayah. Tapi gak akan pernah bisa sama Mas."
Janu menggengam tangan Harkan dibawah selimut. Harkan membalas genggaman Janu dengan lemah.
"Maaf Mas... Aku ngerepoti terus ya?"
"Permintaan maaf ditolak, karena gak ada yang perlu dimaafin." Janu menjewer pelan telinga Harkan. Harkan dan Harna terkekeh pelan. Hati mereka terasa hangat.
***
Marda menjadi orang pertama yang bangun di pagi ini. Masih cukup pagi, dia membiarkan yang lain tetap tidur di kamar si kembar. Perlahan Marda menuju dapur untuk membuat teh.
Saat memasuki dapur Marda melihat Bude sudah sibuk memasak sesuatu. Wangi teh dan jahe sudah memenuhi dapur. Sepertinya teh jahe. "Bude udah bangun?"
"Yaudahla, ini kan udah bediri. Ini minum dulu tehnya" jawab bude sambil mengangsurkan segelas teh jahe hangat.
Marda duduk dan menyesap teh itu perlahan. Rasanya nikmat sekali dan persih buatan Ibu dulu.
"Pesawatnya jam berapa Bude? Biar aku anter ke bandara."
"Jam 8. Gausah repot repot. Katanya tadi malam Harkan gaenak badan. Kamu di rumah aja temeni yang lain. Itu juga teh jahenya kasih ke Harkan kalau udah bangun. Biar agak seger badannya."
Marda tersenyum tipis. Ternyata kehadiran Bude tidak seburuk itu, dan akan terus membaik sepertinya.
***
TEH JAHE
Bahan-bahan
1 saset teh celup
3 ruas ibu jari jahe
2 batang serai yang sudah dimemarkan
200 ml air
3 sdm maduCara membuat
1. Didihkan air bersama jahe dan serai. Masak hingga air mendidih dan beraroma harum.
2. Masukkan teh hingga berwarna gelap.
3. Ambil gelas, tuangkan teh jahe. Masukkan madu sebagai pemanis sesuai selera. Sajikan selagi hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
FanfictionDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...