"Why are you kept looking at your phone?"
"Just waiting for a phone call." Pram masih memandangi ponselnya yang terkunci. Tampak dua buah foto yang ia collage menjadi satu sebagai locksreen. Yang diatas adalah foto keempat putranya, sedangkan yang dibawah adalah fotonya bersama putri dan istrinya.
"I see. By the way, congrats for your daughter. Such an achievement for such a young age." Ia menyambut jabatan tangan rekan kerjanya. Akhir - akhir ini ia memang sering mendapat ucapan selamat atas pencapaian putrinya yang luar biasa itu.
"Isn't it? She is really amazing." Senyum bangga terukir di wajahnya.
Pram kembali melihat ke arah ponselnya setelah rekan kerja ya meninggalkan ruangannya. Sudah 24 jam sejak ia menonaktifkan kartu kredit yang dipegang putranya di Indonesia. Dia juga belum mengirimkan uang untuk bulan ini. Seharusnya mereka sekarang sudah mulai kelimpungan karena tidak punya uang.
Ia yakin mereka punya tabungan masing - masing. Sisa uang bulanan bulan lalu juga mungkin masih bersisa. Tapi seharusnya hanya cukup untuk biaya sehari - hari. Tidak mungkin mencukupi biaya obat - obatan Harkan dan kebutuhannya yang lain.
Apa anak - anaknya lebih memilih melakukan pinjaman online dari pada menghubunginya? Atau ada barang di rumah yang mereka jual? Mereka tidak mungkin bertindak bodoh dengan tidak membeli obat Harkan kan?
"Sorry Pram, I forgot to give this paper." Pria dengan ras caucasian itu kembali memasuki ruangan Pram. Ada berkas yang tertinggal.
"Just put in here." jawab pram masih fokus dengan ponselnya. Siapapun yang melihat pasti tau dia sedang dalam kerisauan.
"May I know who's phone call that make you look so frustrated? We aren't in any problem, are we?"
"Just a phone call from my lovely sons in Indonesia."
***
Pram memandangi piringnya yang sudah berisi lava cake yang dibelinya diperjalanan pulang. Ia memang sangat suka makanan manis, seperti Harkan. Hanya saja putranya yang satu itu tidak boleh mengonsumsinya dalam jumlah banyak. Jadi ia sering meminta beberapa suap saja kepadanya.
Pram akan membelikan satu porsi sendiri untuk Harkan agar tidak mengganggu acara makannya. Tapi Harkan akan terus merengek mengatakan ingin meminta punya Ayahnya saja. Terkadang tangan kecilnya langsung mencoel tanpa seizinnya lalu menjilat jarinya dengan bahagia dan berakhir terkena repetan olehnya. Anehnya, Harkan yang masih kecil tidak pernah jera dan terus mengulangi hal yang sama.
Saat sudah bisa memasak, Harkan juga sering memasakkannya berbagai dessert saat kondisinya sedang baik. Ia dan Harkan satu selera untuk urusan makanan manis. Memikirkannya membuat ia merindukan putranya yang satu itu.
Sejak ia bekerja di Australia, Harkan adalah putranya yang selalu rutin menghubungi dan bertukar kabar. Biasanya Harkan sering mengirimkan chat kepadanya. Bahkan tidak jarang ia mendapat kiriman meme dan postingan lucu yang dikirimkan melalui pesan di social media. Mungkin ia merasa bosan karena memang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah.
Tidak jarang Harkan menelponnya diberbagai waktu untuk hanya sekadar mengobrol. Tapi perlahan intensitasnya berkurang sampai ia tidak pernah melakukannya lagi. Memang Pram sendiri yang bilang ke Harkan untuk tidak sering - sering menelponnya. Karena notifikasinya cukup memenuhi ponselnya. Membuat ia terdistraksi selama bekerja dan sering kali mengganggu jam istirahatnya.
Sekarang ia seperti mendapat balasan karena sikapnya yang selalu mengabaikan telpon Harkan. Malah dia yang didiamkan oleh mereka saat ini.
"Mereka belum menghubungimu juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
FanficDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...