Scallion Pancake (1)

1.3K 190 22
                                    

"Mau ke ruang tengah atau halaman belakang?"

"Halaman belakang boleh Mas?"

Janu mendorong kursi roda Harkan menuju halaman belakang rumah mereka. Sejak Harkan dan Janu cuti kuliah, mereka selalu menghabiskan waktu bersama di rumah. Janu sendiri awalnya harus cukup berdaptasi dengan rutinitas barunya. Tapi dia cukup senang dapat menemani Harkan sepenuhnya.

Kegiatan Harkan selalu monoton. Tubuhnya yang lemah tidak bisa diajak banyak beraktivitas. Kalau sudah bosan di kamar dia akan meminta untuk menonton kegiatan Janu yang sedang melakukan pekerjaan rumah. Lalu jika sudah sore hari dia akan menghabiskan waktu dengan berbaring di ruang tengah atau duduk di halaman belakang.

Tidak banyak yang bisa dilihat di halaman belakang sebenarnya. Tapi suasananya cukup menyejukkan hati dan membangkitkan beberapa memori.

Baru beberapa langkah saja dari pintu mereka sudah disambut angin yang cukup kuat. Udara sore ini tidak terlalu bersahabat sepertinya. Harkan semakin merapatkan cardigan hitam yang tersampir di bahunya. Berusaha melindungi diri dari hawa dingin.

"Udaranya dingin Kan. Kita masuk lagi aja ya?"

"Sebentar aja Mas." Harkan memasang wajah memohon andalannya. Mereka selalu luluh kalau ia sudah memelas seperti ini.

"Mas ambil selimut dulu kalau gitu." Janu meninggalkan Harkan sendiri sejenak.

Perhatian Harkan terpusat pada suatu pojok di halaman mereka. Terdapat ayunan yang cukup panjang dan perosotan kecil yang disekitarnya berisikan pasir. Pojok bermain itu dulu khusus dibuat untuknya agar ia tidak bosan di rumah.

Janu yang sudah kembali membuyarkan lamunan Harkan dengan memasukkan lengannya ke cardigan yang awalnya hanya tersampir di bahu tadi. Setelahnya ia menutup seluruh tubuh Harkan dengan selimut tebal yang dibawanya. Janu tersenyum geli melihat Harkan yang terbungkus rapat seperti kepompong.

"Mas ingat gak dulu pernah buat Harna nangis di perosotan itu?"

"Ingat lah, siapa suruh gak mau gantian."

Harkan hanya tertawa ringan mengenang masa kecil mereka. Dari dulu Harna dan Janu memang meributkan berbagai hal. Sedangkan ia dan Marda akan menjadi penengah. Tapi mereka lebih sering hanya menikmati pertengkaran mereka.

"Aku pengen duduk di ayunan Mas."

Janu langsung mendorong kursi roda Harkan mendekati ayunan itu. Setelah memastikan ayunan itu tidak bergoyang, perlahan ia memindahkan tubuh Harkan. Janu tentunya ikut duduk di sebelahnya. Menyanggah tubuhnya dengan sebelah tangan.

"Dulu pulang sekolah Mas sering banget liat kamu duduk di sini bareng ibu."

"Iya, Mas. Duduk dan main di sini senjata ampuh Ibu buat bujuk aku kalau lagi bandel."

"Kalau Harkan minum semua obatnya, nanti kita main di halaman belakang."

"Jangan nangis lagi ya sayang, nanti kalau udah sehat kita main sama Mas dan Harna juga."

"Nanti Ibu bilangi ke Ayah kalau Harkan mau jalan - jalan sama Ayah. Makanya Harkan harus istirahat biar kuat."

Rindu sekali rasanya mendengar ucapan lembut itu. Ibu sangat bersabar menghadapinya dulu. Seorang anak kecil yang belum mengetahui bahwa tubuhya berbeda. Dia juga selalu meminta ini dan itu, ingin melakukan berbagai hal yang sama dengan saudaranya.

Saat beranjak remaja dan mulai paham tentang kondisi tubuhnya. Ia tetap sering meminta banyak hal yang tidak mungkin dapat dikabulkan. Ingin sekolah seperti Harna. Main dengan teman seperti Marda. Atau menghabiskan waktu bersama dengan Ayah seperti Janu.

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang