Bubur Oat Jamur

1.2K 187 8
                                    

"Bu, maaf Janu datang sendiri hari ini."

Janu berjongkok di hadapan bunga matahari yang tumbuh subur. Batangnya yang menjulang tinggi terlihat menghadap ke arah matahari yang akan segera tenggelam. Kelopak yang berwarna kuning cerah itu menari - nari tertiup angin seakan menjawab monolog Janu.

Ia sekarang sedang berda di taman komplek mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi setiap rindu dengan Ibu.

Daripada memilih untuk mengunjungi makam Ibu dan bermonolog di sana. Mereka lebih memilih tempat ini sebagai tempat yang mereka tuju setiap ingin melepas rindu. Agak aneh memang, tapi itu adalah kesepakatan mereka bersama.

Janu mengubah posisinya menjadi duduk bersila di rerumputan. Tangannya mencabuti ilalang yang berada dekat dengan kakinya.

"Awalnya mau bareng Harkan ke sini. Tapi Harkan lemas dari tadi malam. Kayaknya dia drop gara gara kepikiran sama tingkah suami Ibu. Tensinya naik sampe tinggi banget Bu."

Sudah lama Harkan ingin ke sini. Rindu Ibu katanya. Karena kemarin ia terlihat lebih bertenaga, Janu menjanjikan untuk mebawanya ke tempat ini keesokan harinya.

Sayangnya adiknya itu malah kembali terkapar di tempat tidur setelah mendapat kabar tidak mengenakkan ulah Ayahnya. Janu jadi menyesal membuat Harkan harus ikut memikirkan nasib mereka. Tapi takutnya jika tidak diberitahu malah mereka yang terkena ambekan Harkan.

"Mas Marda bentar lagi tamat Bu... akhirnya dia gak jadi donatur tetap kampus lagi. Agak diancam dosennya dulu memang."

"Harna sekarang udah besar. Bungsu kita yang satu itu sekarang cerewet banget. Kayak Ibu." Senyum tipis terukir di wajahnya membayangkan reaksi Ibu yang pasti tidak terima kalau dibilang cerewet.

"Sekarang dia juga udah bisa jagai Harkan. Tapi kalau ada apa - apa, tetap aja dia selalu ngadu ke Harkan."

Janu mengumpulkan ilalang yang ia cabuti tadi. Memilinya hingga mengeluarkan suatu aroma yang khas. Dia menghirupnya perlahan, menikmati setiap udara yang masuk bercampur dengan aroma segar.

"Aku rasanya pengen nanya Ibu. Gimana cara buat Harkan bisa lebih terbuka."

"Sekarang dia memang udah mulai menyampaikan isi hatinya, tapi tetap aja gak kayak sikap Harkan ke Ibu."

"Kalau kabar Janu sendiri, sekarang Janu lagi ambil cuti selama Mas Mar kejar skripsi. Jadi sekarang Janu yang temani Harkan di rumah."

Ia diam sejenak. Memandangi bunga matahari yang masih menari - nari. Rasanya ingin memetiknya dan membawanya ke rumah untuk menghiasi halaman mereka. Tapi tidak boleh sembarangan merusak fasilitas umum.

"Kalau gak bisa maafi Ayah boleh kan Bu? Aku masih gak bisa paham dengan sikap Ayah yang kayak gitu."

Monolog Janu diakhiri sebuah pertanyaan yang tidak akan ia dapat jawabannya segera. Sepertinya ia memang harus menemukan jawaban itu sendiri.

***

Janu melangkah setengah mengendap memasuki kamar si kembar. Harkan sedang tertidur dengan pulas. Wajahnya masih sama pucatnya sejak tadi malam.

Harna terlihat sedang membereskan spuit dan juga obat - obatan Harkan. Sepertinya Harkan masih belum bisa makan dan minum obat secara normal. Jadi pasti Harna baru saja memberikan Harkan asupan lewat selang makan.

"Uda mendingan dia Na?"

"Tensinya uda turun Mas. Tapi masih pusing. Belum berani aku paksa makan. Anaknya juga masih lemes banget. Duduk sebentar aja udah minta baring lagi."

Janu sudah memperkirakan ini akan terjadi. Meski Harkan bilang dia tidak kepikiran dan sebagainya, tetap saja badannya tidak bisa diajak kerja sama. Buktinya saja tekanan darahnya sampai naik cukup tinggi. Pasti karena ia memikirkan yang tidak - tidak. Syukurlah kalau tekanan darah Harkan memang sudah turun seperti yang Harna katakan.

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang