Bandrek (2)

1.4K 210 36
                                    

Beberapa orang dengan baju putih tampak hilir mudik penglihatan Harkan yang cukup buram. Saat ia menggerakkan kepalanya ke kanan terlihat kakak sulungnya sedang berbicara dengan orang yang ia yakini adalah seorang dokter. Telinganya yang berdengung tidak dapat mendengar pembicaraan mereka.

Wajah Marda yang tampak dari samping dipenuhi beberapa luka. Lebam berwarna biru juga menghiasi lengannya. Melihat itu membuat Harkan tersadar apa yang sedang terjadi.

Ingatan terakhirnya ada guncangan yang cukup keras membangunkannya. Sebuah mobil menabrak mereka di persimpangan. Setelahnya ia mendengar kericuhan terjadi di sekitarnya, terdengar beberapa orang berteriak ntah apa penyebabnya. Dia terlalu sibuk menahan rasa sakit untuk mencerna segala yang terjadi di sekitarnya.

"Mas..."

Marda langsung mendekati ranjang mendengar panggilan yang lirih itu. Ia memberikan senyum terbaiknya kepada Harkan yang baru saja membuka matanya.

"Ada yang sakit? Masih sesak?" Sebelah tangan Marda mengelus lembut wajah tirus Harkan yang terasa dingin.

Harkan tidak menjawab pertanyaan Marda. Ia masih memandangi wajah Marda dalam diam, memperhatikan setiap luka di sana yang masih belum mengering dengan sempurna. Pasti itu semua terasa sakit.

Tangannya terulur ingin mencoba menyentuh wajah Marda, tapi ia lemas sekali dan hanya dapat terangkat sedikit.

Marda yang menyadari gerak - gerik itu menuntun tangan Harkan menuju wajahnya. Ia biarkan jari - jari kurus dan dingin itu menyentuh luka yang masih terasa perih. Agar ia dapat meyakinkan adiknya bahwa ia baik - baik saja.

"Mas gapapa, cuma luka kecil. Bentar lagi juga sembuh."  jawabnya seakan dapat membaca isi pikiran Harkan. Ia memncoba menenangkan. Adiknya tidak poleh panik.

"Mas Jan..." suara lemah Harkan teredam masker oksigen. Ia mencari keberadaan Janu yang tidak tampak sejak dia membuka mata. Ia mulai menangis mebayangkan segala kemungkinan buruk yang terjadi.

"Mas Janu lagi diobati, bentar lagi dia ke sini. Dia juga gapapa kok."

Tidak lama kemudian Janu muncul dari balik tirai di belakang Marda. Wajahnya sama kacaunya dengan Marda. Terdapat lebam - lebam di sana sini. Tapi ia tetap menampilkan senyum terbaiknya meski harus meringis karena luka di sudut bibirnya.

"Kok nangis Kan, tambah sesak nanti." Janu sudah mendekat dan menurunkan railing ranjang tempat Harkan berbaring. Lalu dia duduk diatas ranjang, dekat dengan posisi Marda. Ibu jarinya dengan lembut menghapus jejak air mata itu. Ia tidak akan memafkan pegemudi kurang ajar itu sampai kapanpun karena telah mebuat adiknya sekacau ini.

Harkan belum dapat menghentikan tangisnya, malah semakin terisak saat wajah Janu terlihat semakin jelas. Perasaannya tidak karuan melihat luka - luka itu. Apakah ini yang dirasakan saudaranya setiap ia terbaring sakit? Ia berjanji akan lebih menjaga diri agar tidak membuat khawatir lagi.

Marda terus mengelus lembut rambut Harkan. Berulang kali mengucapkan kalimat - kalimat yang menenangkan. Tidak baik jika Harkan mendapat serangan lagi dalam waktu yang sangat dekat.

Setelah sekitar 30 menit akhirnya tangis Harkan reda. Sekarang ia sibuk bertarung dengan rasa kantuk. Padahal ia baru bangun dari pingsannya, tapi rasanya matanya berat sekali.

"Mas..."

"Hmm"

"Pulang..." bujuk Harkan sambil menggenggam lemah tangan Marda.

Marda tau ini pasti akan terjadi, jadi ia telah menanyakan kepada dokter bagaimana perawatan Harkan selanjutnya, "Kata dokter harus rawat inap dulu sampai stabil."

Food of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang