Ia lagi - lagi terbangun oleh mimpi yang sama.
Liburan keluarga ke Lembang.
Bagi Harkan memori itu adalah memori terindah sekaligus terburuk dalam hidupnya. Karena sejak saat itu seluruh saudaranya telah menemukan cara untuk menyayangi dan mencintainya. Sayangnya, hal itu seakan akan - akan memang sebuah garis takdir. Karena tidak lama setelahnya Ibu yang selalu menjadi penopang hidupnya pergi meninggalkan dunia.
Saat membuka mata, Harkan hampir sulit menyadari dia sedang berada di mana. Tangannya kembali tertancap jarum. Selang kembali terpasang dihidungnya. Ditambah lagi ia melihat tempat tidurnya yang memilki railing. Ia akan mengira sedang berada di rumah sakit.
Tapi saat melihat interior kamar tempat ia berada dengan pandangannya yang tampak buram membuat ia teringat bahwa sekarang ia masih di rumah Kakek. Kakek telah memanggil dokter untuk mengecek kondisinya yang semakin menurun. Membuat selang - selang menyebalkan ini terpasang lagi di tubuhnya.
"Eh udah bangun."
Janu terlihat membawa setumpuk kain. Sepertinya sprei, selimut, dan sarung bantal.
Dia memang berencana untuk mengganti sprei dan membersihkan tempat tidur Harkan. Tapi ia ingin menunggu Harkan bangun dulu. Tidak tega mengganggu istirahatnya.
"Aku pindahi ke kursi roda bentar ya Kan. Biar dibersihi dulu sama Mas Jan tempat tidurnya."
Harna meletakkan tangannya si bawah kedua lutut Harkan, sedangkan yang satunya menyangga tubuh bagian atas. Dengan cekatan ia mengangkat tubuh yang sangat ringan itu ke kursi roda yang sudah diatur berbaring penuh. Tidak lupa ia kembali menyelimuti tubuh Harkan yang sangat ringkih.
"Kukunya udah panjang. Aku izin potong ya." Saat sedang membenarkan posisi tubuh Harkan, Harna menyadari kuku Harkan yang terlihat panjang.
Harkan hanya mengangguk lemah. Ia semakin tidak mampu bicara. Hanya satu persatu kata dengan terbata yang dapat ia ucapkan. Bahkan suaranya sering tidak keluar sama sekali.
Ia sangat bersyukur seluruh saudaranya sangat sabar merawatnya. Selalu memahami segala yang ia butuhkan tanpa harus mengatakannya.
Harna sudah mengambil gunting kuku di laci. Ia meletakkan selembar tisu di pangkuan Harkan. Dengan hati - hati ia mulai memotong kuku di jemari - jemari kurus itu.
Tangan Harkan hanya terkulai lemah dipangkuannya. Jari yang sedang tidak dipegang Harna jatuh begitu saja tidak bertenaga. Kemarin - kemarin Harkan masih bisa bergerak sedikit dan dapat membalas genggamannya. Sekarang sudah tidak sama sekali.
"Jangan pendek banget Na, sisai dikit. Sakit kalau kependekan."
"Diem aja Mas, tau kok aku."
"Gak kependekan aku motongnya kan Kan?" meski dia kesal dengan komentar Janu ia tetap memstikan Harkan benar - benar tidak kesakitan.
Harkan memberikan senyum terbaiknya sebagai balasan. Bibir yang sangat pucat dan kering itu melengkung tipis.
"Tuh nggak Mas. Cepetan ganti spreinya biar Harkan bisa istirahat." Harna semakin berani mengusili Janu setelah dibela oleh kembarannya. Janu hanya mendengus sebal karena Harkan memilih membela Harna.
Harkan mengamati semua yang terjadi dengan hikmat. Merekam semuanya baik baik - baik diingatannya. Ia harap akan dapat selalu menikmati suasana ini.
"Kalau mereka bising banget bilang Mas aja Kan. Biar Mas usir." Marda yang baru datang ikut mengompori. Janu dan Harna jika sedang dalam satu ruangan tidak akan bisa diam.
"M-mas.." ucap Harkan terbata di balik masker oksigennya. Berusaha menyapa Marda yang baru datang.
Marda tidak mendengar sama sekali sebenarnya. Harna saja yang tepat di samping Harkan hanya dapat mendengar samar. Tapi Marda dapat membaca gerak bibir itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Food of Soul
FanfictionDunia hanyalah piring yang isinya bisa kita isi, ntah dengan pilihan sendiri atau dengan lauk yang tersedia. Tapi tetap harus kita santap. Cerita ini berisi resep yang akan mengenyangkan perut, hati, dan pikiran. Menceritakan isi "piring" 4 bersaud...