09

210 12 0
                                    

"Mah, Ello mana?" tanya Ellana sambil berjalan mengahampiri Emma yang sedang sibuk menyiapkan makan siang.

"Keluar sama William, katanya mau cari cincin" sahut Emma yang masih fokus dengan kegiatan memasaknya.

"Cincin? buat apa?" ucap Ellana heran.

"Mereka berdua akan menikah Ella, kamu sih kemarin disuruh cepet pulang malah ga pulang, jadi ketinggalan berita"

"Mama bercanda kan?" ucap Ellana langsung berdiri dari posisi duduknya.

"Bercanda gimana, bulan depan pernikahannya".

"Mama Elliot gaboleh menikah sama dokter William" Ellana meremat pinggiran meja erat.

"Kamu bicara apa sih, orang tanggal pernikahannya udah ditetapin kok" Emma jadi kesal mendengar ucapan Ellana.

"pokoknya gaboleh, dokter William cuman boleh sama Ellana, dokter William itu pangeran Ella ma, bukannya mama juga tahu kalau Ellana akan menikahi pangeran Ellana kalau sudah besar. Sekarang kenapa jadi Elliot yang menikah" tutur Ellana dengan menggebu-gebu.

"Ellana, jangan bilang..." Emma tidak percaya dengan apa yang dikatakan putrinya.

"Ya, dokter William adalah pangeran yang Ellana ceritakan waktu Ellana masih kecil, dan mama tahu, dokter William juga berjanji akan menikahi Ellana"

Saat kecil Ellana memang sering menceritakan kepada Emma tentang pangeran yang tampan dan akan menikahinya. Tapi Emma tidak pernah menganggapnya serius, dirinya hanya berfikir mungkin putrinya tengah berimajinasi.

"Ellana selalu memimpikannya bahkan selalu menunggu hari itu tiba, tapi sekarang apa, Ello yang akan menikahinya ini ngga adil ma" air mata sudah jatuh dengan deras.

"Sayang, tapi itu kan sudah lama sekali bahkan William mungkin sudah lupa dan itu saat kamu masih kecil" Emma mencoba memberi nasihat pada putrinya.

"Itu hanya sekedar ucapan sayang" sambungnya.

"Ellana gamau tahu pokoknya Elliot gaboleh menikah sama dokter William janji tetaplah janji" ucap Ellana penuh penekanan.

"WILLIAM CUMA PUNYA ELLANA NGGA BOLEH ADA ORANG LAIN YANG MENGAMBILNYA ELLIOT SEKALIPUN" Teriak Ellana di depan Emma.

Plak

"Apa papa pernah mengajarkanmu untuk bicara dengan nada tinggi seperti itu pada orang tua" Kenan yang baru pulang dari kantor, dikagetkan dengan teriakan dari Ellana. Dirinya pulang cepat hari ini.

"Papa dan mama sama saja, kalian tidak ada yang menyayangi Ellana kan, tanpa meminta persetujuan dari Ellana kalian menyetujui pernikahan ini." Ellana menatap orang tuanya dingin dengan air mata yang masih berjatuhan.

"Hahhh ini sungguh sesak" Ellana menghela nafas kasar dengan mengadahkan kepala ke atas.

"Sayang itu tidak benar, kamu tau kita menyayangi kalian berdua, kemarin mama sudah mengabarimu untuk segera pulang kan, tapi kamu tidak kunjung datang dan kita tidak mungkin menunda hal itu" jelas Emma dengan pelan takut menyakiti hati putrinya.

"Sudahlah ma, aku tidak mau mendengar apapun lagi" Ellana melenggang pergi dari sana.

"Ellana mau kemana kamu, papa belum selesai bicara" dengan suara sedikit keras Kenan menegur Ellana.

Mendengar teguran dari sang ayah Ellana langsung membalikkan badan.

"Apa lagi yang mau papa bicarakan huh, apa kalian tidak puas sudah membuat Ellana hancur, Ellana sakit pa," ucap Ellana lirih.

"Ellana tidak akan datang ke acara pernikahan Elliot, Ellana akan pergi keluar negeri besok, Ellana tidak akan kuat kalau harus menyaksikan orang yang Ellana cintai menikah dengan orang lain terlebih itu dengan saudara sendiri" kekeh pelan Ellana di akhir. Setelah mengatakan itu Ellana pergi ke kamar dan menutup pintu dengan kasar.

"Sayang, gimana cara kita memberitahu Ello, kita tidak mungkin membatalkan pernikahan ini" air mata sudah jatuh dari mata Emma, ia sedang dilema sekarang.

"Tidak apa, kita tidak perlu memberitahunya, untuk Ellana kita biarkan saja dia dulu, mungkin dia perlu mendinginkan kepalanya" Kenan membawa Emma kedalam pelukannya, menenangkan.

"Ellana sudah dewasa dia tahu apa yang benar dan salah" sambungnya.
___________________________________

Huwaaa

Huwaaaa

Terdengar suara anak kecil yang sedang menangis, suara itu masuk ke indra pendengaran William.

Remaja SMA berparas tampan dan tinggi, bahkan wajah itu tidak pernah berubah sampai dewasa. Dia adalah William, dirinya tersesat saat akan pulang dari rumah temannya, dan saat diperjalanan dia mendengar ada anak kecil yang menangis.

"Hei, gadis kecil kenapa kau menangis, dan kenapa sendirian, dimana orang tuamu?" William menghampiri gadis kecil yang tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

"Ellana telcecat, Ellana tatut, tati Ellana catit hiks" ucap Ellana kecil dengan suara khas anak kecilnya.

William menjajarkan tingginya dengan Ellana. "Sini biar kakak lihat, hmm tidak ada yang berdarah ini akan cepat sembuh" William mengelus lutut kecil itu pelan sambil meniupnya.

"Nih, kakak punya permen untuk Ellana? jangan menangis lagi oke" William memberikan itu dan mengelus kepalanya lembut.

"Telimatacih, Ellana cudah tidat menangis agi" ucapnya dengan menujukkan gigi kecilnya.

"Gemes banget sih, orang tua kamu mana?"

"Ndatau tadi dicana telus cekalang gaada" Ellana mengemut permen yang diberikan William.

"Tata tampan, anti talo Ellana cudah becar mau menitah dengan tata" ucap Ellana dengan mata yang berbinar.

"Ahaha boleh, masih kecil udah mikir nikah" William mencubit pipi gembul itu gemas.

"Janji ya, tatanya mama talau janji nda boleh diingtali"

"Hm kakak janji, kamu senang" ucap William dengan tersenyum tipis.

"Ellana cenanggg cekaliiiii" Ellana berteriak dengan girang.

William tidak serius dengan hal itu, dirinya hanya menanggapinya saja takut kalau ditolak bocah itu malah menangis lagi, nanti malah dirinya yang di salahkan. Siapa sangka kalau ucapannya saat itu membawa badai untuknya dimasa depan.

"Ellana sayang, kamu dari mana saja mama cariin kamu kemana-kemana" wanita paruh baya itu adalah Emma. Emma langsung menggendong Ellana.

Karena Emma terburu-buru pergi dari sana jadilah ia tidak sempat melihat wajah pria yang telah menolongnya.

"Terimakasih sudah menemani putriku, saya permisi dulu sekali lagi terimakasih" Emma membungkukkan sedikit badannya dan berjalan pergi.

Ellana yang menghadap belakang digendongan Emma melambaikan tangan pada William, yang tentu saja dibalas olehnya.

"Udah mau gelap, harus cepet cari jalan pulang nih keburu mama marah".
____________________________

Maaf kalo ceritanya makin gajelas
jangan lupa vote luvvv

With you, Always!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang