@@@@@Seolah menjadi kebiasaan, mereka menghabiskan waktu duduk berdua di kamar rawat seulgi setiap pukul 10.
Keadaan seulgi mulai membaik. Terlihat dari caranya menyantap makanan dengan lahap. Ukuran large pizza itu seharusnya di khususkan untuk beberapa orang, tapi seulgi justru memakan habis pizza pesanan mereka sendirian.
Irene duduk sambil memangku dagu. Bibirnya berkedut menahan senyum. Sesekali tangannya mengusap bibir seulgi yang penuh saus. 10 menit lalu, seulgi tiba-tiba memintanya memesan makanan untuk mereka. tidak berhenti di situ saja, gadis itu juga memberi sepasang sandal berbulu untuk ia pakai. Dan lagi-lagi tindakan seulgi membuat irene makin terharu penuh harap.
"Aku mau potong rambut."
Irene dibuat keheranan oleh permintaan seulgi.
"Potong rambut?" irene mengerjap bingung.
Seulgi mengangguk dengan mulut penuh kunyahan pizza. Satu tangannya terangkat ke leher.
"Segini?" lalu tangan itu menurun menyentuh bahu. "Atau segini aja? Rambut aku kepanjangan bikin gerah. Jahitan di kepala aku juga pasti rambutnya di potong asal sama dokternya."
Irene memindahkan perhatiannya pada rambut berantakan seulgi, wajahnya masih pucat tapi anak itu kerap kali memamerkan senyumnya yang manis. Rambut seulgi cukup panjang sebatas punggung, dilihat dari belakang hasil potongan rambut dari dokter membuatnya tidak rapi. Perban di kepala seulgi sudah di lepas hanya tinggal kain kasa kecil yang menutupinya. Sebetulnya irene tidak sanggup melihat luka itu lagi, luka robekan dari pukulan botol beer hingga merobeknya cukup dalam.
"Kamu nggak bisa keluar rumah sakit. Biar saya yang potong rambutnya." Tawar irene. sudah lama semenjak menikah dengan suho dan memutuskan berhenti di dunia medis, ia seringkali menghabiskan waktunya untuk berlajar sesuatu yang baru. Irene juga pernah sekali memotong rambut yerin di kala libur semester.
"Kamu bisa?"
Irene mengangguk kalem. "Bisa. Potong kuku juga bisa."
Seulgi tahu-tahu menyodorkan potongan Pizzanya ke depan mulut Irene.
"Kamu juga butuh makan. Kamu harus sembuh, biar nggak demam lagi. "
Irene tidak langsung menerima pizza itu. Tapi kemudian ia perlahan membuka mulutnya juga menerima suapan dari seulgi.
"Enak kan? Kita harus sembuh biar bisa keluar dari rumah sakit ini."
Mereka duduk berhadapan di atas tempat tidur. Sama seperti malam-malam sebelumnya, lampu di kamar rawat seulgi sengaja tidak nyalakan, jendela di sana juga dibiarkan terbuka agar Angin bisa masuk dari sana. Dan sinar bulan yang menerpa wajah mereka. Ini akan menjadi momen langka bagi mereka. Irene harap momen-momen seperti ini akan berlanjut hingga esok, lusa, dan kedepannya nanti. Dengan pemandangan seulgi yang tengah mengunyah dengan pipi mengembung.
"Kamu pernah buka salon?"
Keduanya sudah berada di kamar mandi. Seulgi duduk menghadap kaca wastafel, semetara irene berdiri di belakangnya mulai menggunting rambut seulgi. luka di kepalanya sudah mengering, sangat hati-hati irene menyisir rambut gadis itu.
"Belum pernah. Saya cuma buka toko bunga. Studio galeri kamu bersebrangan dengan toko saya." Jelasnya.
Helai demi helai rambut seulgi berjatuhan ke lantai, sebagian mengenai sendal berbulu yang dipakai Irene. Seulgi makin tersenyum memandangi gunting ditangan Irene memangkas rambutnya melalui pantulan kaca.
"Bener ya, kalau aku punya anak-anak les lukis? Seberapa banyak?"
Kali ini irene yang tersenyum menyisir rambut seulgi lagi. Sesekali mengibas bahu gadis itu yang terkena potongan rambutnya, walaupun sudah ia tutupi dengan handuk
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPINESS
ChickLitKita punya banyak mimpi di masa depan, banyak harapan-harapan yang ingin kita lakukan. Tapi Tuhan tahu Bahwa mimpi-mimpi kita hanya sebuah rencana, dan kisah perjalanan kita akan menjadi sebuah cerita manis untuk di kenang. Kamu adalah langit yang...