Barbun terlihat menetralkan energinya di sana. Ia seperti memulihkan semua di dekat Baskara. Kondisi yang mengkhawatirkan sebelumnya, Barbun perbaiki sendiri. Ia tampak menarik napas panjang, dan membuangnya pelan-pelan. Aksinya itu terlihat meski dari kejauhan, dari posisi jin Anok dan kedua pengikutnya berdiri.
“Kami tidak ada maksud apa-apa ke sini. Kami hanya bertugas untuk melindungi gadis ini saja,” ujar Baskara.
Anok memiringkan kepalanya.
“Gadis ini yang membawa kami sampai sini.”
Anok berkerut. “Bukankah kalian aden-aden?”
“Ya, benar. Rivalitas kaum mu dari sejak lama. Tapi kami di sini sudah berbeda. Kau tidak harus mengenali kami sebagai rivalitas lagi,” terang Baskara.
Anok menaikan dagunya.
“Percayalah.”
“Kalian tidak di tempat ini sebelumnya, benar?”
“Ya. Temanku sudah berbicara di awal, bukan?”
“Maka aku tanya sekali lagi. Mengapa kalian ke sini?”
Baskara menghela napas. Barbun masih bergelagat memulihkan energi di samping Baskara. Menarik napas panjang, membuangnya pelan-pelan. Sesekali matanya terpejam lama sembari menarik napasnya. Kedua tangannya memutar, mengangkat, dan menurun. Begitu sejak tadi.
“Kami tidak bisa merencanakan apa-apa. Kami hanya bertugas untuk melindungi gadis ini ke manapun dia pergi,” tandas Baskara.
“Siapa yang beri tugas itu untuk kalian?”
“Ibu dari gadis ini.”
Anok menyipitkan matanya. Berbarengan dengan itu, ia kembali mengubah wujudnya menjadi perempuan cantik seperti tadi. Rambut panjangnya tergerai lurus sampai pinggang.
“Apa yang kalian dapat dari menjaga gadis itu?”
Baskara tersenyum tipis. “Tidak ada. Hanya lebih tenang saja karena tidak ada peperangan setiap dua malam.”
“Peperangan?” ulang Anok—alih-alih bertanya.
“Bukankah selalu ada peperangan yang terjadi setiap malam. Itu seperti budaya yang tidak ada habisnya di antara kita. Maka leluhur kami sejak itu memilih pergi dengan bekerja sama dengan manusia.”
Anok bergidik kecil, tampak mendengar kekeliruan. “Tidak. Bukan. Apa maksudmu peperangan dengan kami? Kaum jin?”
“Bukankah begitu?”
“He' kami sudah lama tidak melakukannya. Tempat ini sudah lama tidak melakukan peperangan dengan kaum aden-aden. Kami hidup berdampingan dengan damai. Tapi dalam tanda kutip masih tetap bersitegang. Tapi tidak lagi di besar-besarkan. Hanya cukup satu melawan satu yang punya masalah di antaranya.”
Baskara berkerut dahi. Ia menoleh pada Barbun. Barbun sudah menatapnya di sana.
“Kalian tampak heran. Atau terkejut. Wajar, karena memang hanya di sini kami seperti ini.”
“Emmmmmhhhh ...”
Satu detik setelah itu, Maya terdengar bergumam. Ia merintih. Baskara, dan Barbun menoleh. Maya menyentuh keningnya. Jelas ada yang terasa menyakitkan di sana.
“Aaah ...”
Pelan-pelan, Maya membuka matanya. Ia tidak sepenuhnya sadar. Ia menatap langit-langit hutan. Langit masih terlihat biru gelap—hampir subuh. Bintang bertabur indah di sana, di sela-sela dedaunan dari pohon yang cukup rindang. Maya menyeka keningnya. Ia menatap apa yang sudah ia sentuh di tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorreurNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...