I - Awal Dari Rasa Sakit

201 73 95
                                    

Episode 01

Itu sebabnya dunia selalu berpihak kepada rasa sakit, karena dunia dengan ugal-ugalan mencintai kisahnya.

▪️💠▪️

Di tengah-tengah kota, jalanan cukup ramai siang menuju sore ini, udara musim hujan yang terasa dingin mulai menyeruak ke pori-pori seorang gadis--yang sedang berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum.

Angin berhembus menerbangkan anak-anak rambut yang tidak terikat rapih, membuat sang empu kerap kali mengangkat tangannya untuk sekadar menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Hanna Sanjaya--seorang wanita berusia 27 tahun menggunakan earphone di telinganya, memutar sebuah lagu garage pop Inggris romantis tentang keinginan menghabiskan seluruh waktu bersama sang kekasih, itu terdengar cukup manis.

Namun, alunan nada itu berhenti begitu cepat, tergantikan dengan nada sumbang suara panggilan pada benda pipih di saku jaketnya.

Malas, gadis itu tidak berniat menjawab panggilan, seakan lelah untuk berinteraksi dengan orang lain.

Dia baru saja pulang dari pekerjaan yang ditekuninya selama kurang lebih 4 tahun ini. Tidak ada tenaga untuk berbual, hingga nyaris tak sadar tujuan selanjutnya adalah kembali bekerja.

Dering itu nyaris tiada jeda, Hanna dengan terpaksa merogoh saku jaketnya yang berwarna coklat itu, mengeluarkan handphone yang terus bernyanyi ria.

Sebuah nama tertera di sana, tidak asing untuk Hanna tapi lagi-lagi membuat lelahnya makin menjadi gila. Pasalnya panggilan dari nama ini selalu membuat dia gundah gulana.

"Halo, kenapa?" tanya Hanna dengan nada datar. Memutuskan untuk mengangkat telpon.

"Astaga, Hanna! Kenapa lama sekali, sih? Kamu lagi di mana?" ujar seorang perempuan dari seberang panggilan.

"Menunggu angkot."

"Kita harus bicara, Hanna. Aku--"

"Kalau tidak penting jangan hubungi aku," potong Hanna tidak berniat mendengarkan penjelasan, dia cukup tahu orang di seberang telponnya sering berbasa-basi belaka.

"Hanna! Ini tentang keluargamu!"

Satu kalimat itu berhasil membuat Hanna terdiam, pupil matanya membesar menatap lurus ke depan. Ada desiran aneh di dalam dirinya yang sulit dijelaskan, antara bahagia dan ketidakmungkinan.

"Hanna! Masih di sana? Halo?"

Hanna tersadar, dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Ya, masih."

"Oke, sekarang kita bertemu di toko kue, ya. Aku akan segera ke sana."

Panggilan itu berakhir, beberapa saat Hanna terdiam tanpa kata, bahkan napasnya terasa sangat berat. "Ini yang namanya keajaiban?"

Hanna terkesiap, dia kemudian menaiki angkot yang baru sampai di hadapannya dengan tergesa. Harap-harap cemas tentang kabar yang akan dia terima.

Angkutan kota membelah jalanan sore hari pukul 16.00, matahari tidak lagi di puncak kepala, namun hawa berdempetan di dalam sana membuat segala aroma menguap. Entah bau parfum dari berbagai merk, atau bisa jadi dari parfum yang bercampur keringat. Yang tadinya dingin menjalar, tergantikan dengan gerah yang tidak karuan.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang