Episode 04
Tersadar masih memiliki hati, ketika yang dicari justru tidak mau ditemui.
▪️💠▪️
Sinar matahari pagi mulai menghujani bumi, menyiratkan warna keemasannya pada jalan beraspal, pada daun-daun hijau yang sekarang nampak kuning, pada gedung-gedung pencakar langit yang menyilaukan, dan permukaan gerbong kereta yang membelah jalanan dengan gagahnya. Menerobos masuk ke jendela, menerpa wajah seorang wanita yang tengah duduk di salah satu KRL commuter line kelas ekonomi.
Di hari Senin pukul 06.00 pagi, Hanna dan Jenni sudah berada di stasiun kereta untuk datang ke panti jompo yang dimuat artikel tempo hari. Sekitar 10 menit yang lalu, kereta mulai merangkak maju dengan pesat, membawa puluhan penumpang yang memilih untuk pergi pagi-pagi sekali seperti kedua gadis itu.
Hanna duduk diam sambil melihat ke luar jendela, kereta dengan penampakan baru ini cukup menarik dan lebih nyaman, berbeda ketika 2 tahun lalu Hanna menaikinya untuk pergi ke Jakarta. Waktu Hanna pergi ke kantornya Jenni untuk mencari orang--guna menemukan keluarganya.
Teringat, di kursi yang tengah Jenni duduki sekarang, 2 tahun lalu adalah milik seseorang yang sampai hari ini Hanna ingat betul bagaimana rambutnya acak-acakan, jaket kulitnya yang berwarna coklat, memakai topi dan tertidur pulas. Seorang laki-laki yang rela dihimpit oleh dua orang gemuk-gemuk, tapi masih bisa menawari Hanna permen.
Kala itu Hanna sedang dalam keadaan mood yang kurang baik, hingga dia terus terdiam sambil mendengarkan musik lewat earphone. Hanna menggunakan masker, membawa tas kecil yang berisi informasi tentang keluarganya--yang sempat diambil terlebih dahulu ke panti, dan paper bag berisikan makanan.
Kereta yang Hanna tumpangi berjalan menembus angin, melewati begitu banyak rumah-rumah, bangunan, gedung dengan warna dan bentuk yang berbeda.
Angin ACE berhembus kencang, menusuk kulitnya yang sensitif. Dia meringkuk di pinggiran, gerbong nomor 07 itu sesak dan penuh dengan orang. Hanna dihimpit oleh dua ibu-ibu yang baru saja datang, berdempetan dan saling senggol, membuat Hanna tak nyaman dan sedikit kikuk. Merasa canggung dan tak karuan.
Mata Hanna beralih saat sebuah jari mencolek dengkulnya, seorang pemuda yang mukanya hampir ditutupi oleh topi semua--dia terbangun dari tidurnya. Laki-laki itu tersenyum kepada Hanna, dibalas dengan anggukan kecil.
Kalau benar tebakan Hanna, laki-laki itu merasa kasihan padanya yang kebetulan memiliki nasib yang sama. Terjebak di antara orang-orang berperawakan besar hingga mereka terjepit, sulit untuk bernapas.
"Permen," kata pemuda itu seraya menaruh beberapa permen di tangan Hanna.
Tidak menolak, tidak juga menerima, Hanna hanya terdiam sambil terus melihat pemuda itu. Terlihat mata kedua pemuda itu berwarna merah, sebagai tanda kalau dia baru bangun dari tidur.
"Perlu yang manis untuk teman perjalanan," tambah laki-laki itu tersenyum lebar. Matanya bulat seperti mata rusa, melihat Hanna dengan berbinar.
"Kamu?" ujar Hanna sambil menyodorkan permen itu kembali.
"Aku sudah mendapatkan yang manis." Laki-laki itu tersenyum lagi, menatap Hanna dengan penuh arti.
Tidak berkata apa-apa, Hanna hanya terdiam sampai laki-laki itu berdiri dari duduknya, tiba di stasiun yang dia tuju. Punggungnya menghilang ditelan para penumpang yang masih berdiri mencari tempat duduk, sesak dan padat.
Namun, sebelum dia pergi meninggalkan tempat duduknya, laki-laki itu memberikan sebuah gantungan kunci yang langsung ditaruh pada pangkuan Hanna.
"Hadiah kecil," bisiknya lalu melenggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEVER For 'EVER'
ChickLit💠💠💠 (Sensor: 17+, untuk muda-mudi. Bukan balita!) Bagaimana rasanya dicintai dengan cara ugal-ugalan? Ini cerita tentang seorang wanita bernama Hanna Sanjaya yang dicintai oleh cogil kuliahan---Zein Aksama Putra dengan cara luar biasa. Kamu akan...