III - Siklus Kehidupan

135 53 77
                                    

Episode 03

Dunia akan terlihat kejam untuk orang yang sedang bersedih, lelah dan terpuruk. Namun, jika yang memandang kehidupan adalah orang mati rasa, dunia disebut apa?

▪️💠▪️

Remuk, itu adalah kata yang cocok untuk menerjemahkan bagaimana tubuh Hanna setiap bangun pagi. Lagi-lagi dia dibangunkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Hanna beranjak menyeret tubuhnya turun dari ranjang, perawakan yang ideal dengan tinggi 165 cm itu hendak bersiap-siap untuk kembali pada aktivitasnya. Menyusuri kehidupan dengan segala hiruk-pikuk dunia sambil bekerja.

Rumah sewa berlantai satu itu cocok ditempati untuk tinggal sendirian, seperti Hanna sekarang. Rumah yang sudah Hanna sewa selama 6 tahun ini memiliki kamar yang menyatu dengan sofa ruang tv, hanya disekat oleh lemari buku berukuran kecil. Kemudian ada kamar mandi di dekat dapur minimalis yang terletak di depan ranjang, ditambah ruang laundry yang sangat membantu sekali.

Sederhana, namun sangat cukup untuk Hanna dengan kesendiriannya.

Dengan langkah tergesa, Hanna keluar dari kamar mandi. Terasa sudah wangi dan pakaiannya rapih, Hanna bergerak menuju meja rias. Menyisir rambut dan dikeringkan dengan hairdryer, tak lupa memoles make up tipis-tipis ke wajahnya.

Setelah bercermin guna menilai penampilannya, Hanna menuju ke dapur untuk mengisi perut yang keroncongan. Dapur yang ditata Hanna dengan sedemikian rupa itu nampak sedap dipandang, terlihat beberapa makanan ringan dan makanan instan di lemari atas, juga beberapa minuman soda dan kopi kemasan di kulkas.

Pukul 04.00 pagi, setiap hari Hanna bangun di jam-jam ini karena harus membuat kue untuk tokonya.

Memilih roti dan telur sebagai sarapan, Hanna menikmatinya sambil beranjak meninggalkan rumah menuju toko di persimpangan jalan dengan menaiki sepeda. Jarak yang ditempuh Hanna hanya 7 menit saja untuk sampai ke depan toko yang tentu saja masih gelap gulita dan sepi.

Udara dingin pagi hari menusuk kulit Hanna sekalipun sudah memakai jaket, hingga dia mengusap-usap punggung tangannya sendiri.

Jalanan masih lenggang, ada 2 sampai 3 mobil dan motor saja di setiap menitnya. Entah mau pergi kemana, kemungkinan sama seperti Hanna, mereka berhadapan dengan tanggung jawab dan beban hidup.

Hanna menghela napas tegas, dia duduk sebentar di kursi depan tokonya. Menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya, seiring hembusan napas, asap itu mengepul ke langit-langit lalu menghilang. Tidak tahu sejauh mana, bisa jadi hanya sebatas menyapa daun-daun pohon mangga atau lebih jauh lagi, menegur tower yang terlalu tinggi?

Hanna kembali menyiapkan dirinya, tanpa perasaan apapun, tidak tahu menahu tentang kesedihan atau bahagia? Hanna berjalan mengikuti alur hidupnya.

Tanpa merasakan apa-apa.

"Kerja lagi."

▪️💠▪️

Suasana restoran cukup ramai, pelanggan pulang dan pergi silih berganti, para pekerja sibuk melayani.

Sama halnya dengan Hanna, dia sedang mengantar seorang wanita paruh baya ke meja nomor 07 yang sudah diberi tanda reserved--yang artinya sudah di booking oleh pelanggan. Hanna tersenyum ramah, memberikan buku A la carte restoran dan mencatat pesanan.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang