XIX - Do Not Connect

37 10 8
                                    

Episode 19

Katanya, menaruh harapan kepada manusia adalah seni paling sederhana untuk menderita.

▪️💠▪️

Seperti ditimpa kebahagiaan yang tidak ada habisnya, ambisi-ambisi tidak tahu diri kerap hadir dengan penuh pengharapan dan penghayatan tentang hidup. Seakan semuanya terus baik-baik saja, padahal tidak pernah berpikir tentang buruknya.

Kerap kali tentang mindset seseorang prihal kehidupan, terus mengedepankan ego dan tidak mempertimbangkan konsekuensi. Karena pada kenyataannya, konsekuensi jelas mengerikan untuk dibayangkan. Apalagi dialami?

Sama halnya dengan mempercayai orang lain, kadang kita tidak bisa mengatur segalanya dengan benar, hingga egolah yang jadi tujuan. Terus memberi makan ego adalah kesalahan, tapi juga sebagian besarnya adalah ketidaksadaran.

Terjerembab. Ketika mempercayai seseorang dengan sangat, pembicaraan orang lain sudah tidak lagi penting. Kemudian menemukan satu titik dimana semuanya berbalik, menyerang dengan tanpa perasaan. Rancu dan sangat memuakkan, sakit dan hancur silih bersenggolan, sampai pada yang namanya kecewa.

Siapa yang berhak disalahkan?

Pertanyaan itu kadang tidak lagi penting, sudah musnah dan hilang arah.

"Hanna, aku mendapat kabar kalau Alfi ke Indonesia," ujar Jenni yang sedang menikmati kue di tangannya.

Dia membantu Hanna mempersiapkan toko setelah sekian lama ditutup begitu saja, berinisiatif untuk membantu temannya dari jauh-jauh hari agar mendapat jatah kue secara gratis. Sekarang mereka sedang duduk manis di kursi besi, seperti biasa dua makhluk Tuhan itu berbincang ke sana dan kemari.

"Terus, apa urusannya denganku?" tanya Hanna acuh tak acuh. Dia sibuk menikmati kopi pagi ini yang dirasa terlalu manis di lidahnya, padahal dia sendiri yang membuat kopi itu.

"Ck! Sudah tidak mau tahu? Oh, sekarang ada pengantar paket bunga, ya?" tanya Jenni dengan perkataan yang kurang jelas karena mulutnya penuh kue coklat.

Kue yang beberapa waktu lalu memang dia tolak karena bentuknya beruang, tapi kali ini dia dengan senang hati memakan kue tersebut karena sudah berubah bentuk jadi penyu, request Jenni kala itu.

Hanna menghela napas panjang, melirik ke arah buket-buket bunga yang sudah mulai mengering, tertumpuk di pinggir pagar.

"Kamu suka sama Zein?" tanya Jenni mulai mencondongkan tubuhnya ke depan, menunggu jawaban Hanna dengan tak sabar. Wajahnya terlihat sangat penasaran bak ibu-ibu arisan.

"Jen, jangan seperti itu," ujar Hanna sambil mendorong kepala Jenni dengan telunjuknya untuk menjauh. "Aku tidak menyukai dia."

Uhuk! Uhuk!

Jenni melotot, dia hampir tidak bisa menelan kue di mulutnya. Saking tidak percaya kalimat yang dilontarkan oleh Hanna. "Kau yakin? Tidak luluh dengan semua yang dilakukan bocah itu? Tidak luluh dengan surat-surat yang menumpuk ini?"

Jenni menunjuk tujuh surat berwarna-warni di atas meja, surat yang diselipkan di setiap buket yang tadi pagi ditemukan Hanna.

Surat pertamanya berbunyi; Nona, kata temanku bunga bisa membuatmu jauh lebih baik.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang