XI - Dinner?!

31 20 0
                                    

Episode 11

Kelemahan adalah hal yang sensitif untuk diketahui banyak orang.

Namun, bukan berarti kelemahan tidak akan menemukan orang yang tepat sebagai rumah berpulang.

▪️💠▪️

Malam hari yang mendung seusai riuh dan kepanikan.

Hanna sedang menatap mie instannya yang berada di atas meja, memainkan gelas yang tidak lepas dari genggamannya sedari tadi.

Kepalanya agak sakit, terasa berat. Pikirannya kosong, tapi hatinya tengah hancur berantakan. Seolah ingin menjerit sejadi-jadinya, namun air mata pun enggan untuk bersua.

"Nona Hanna? Kamu baik-baik saja?" tanya seorang pemuda yang duduk di seberang Hanna, terus memperhatikan dalam diam.

"Nona-nona!" sindir Jenni yang baru saja datang sambil membawa semangkuk mie yang dia pesan. "Kamu itu ngapain sih, ngikut-ngikut ke sini, Zein?"

"Maaf, Mbak Jenni yang baik hati. Aku ikut Nona Hanna, ko," jawab Zein diikuti senyuman manis.

Mereka sedang berada di warung mie pinggir jalan yang masih buka tengah malam seperti ini, memesan mie dan teh hangat sebagai pengganjal perut.

"Ah, terserah kamu, Zein. Saya pusing," ujar Jenni langsung memakan mie-nya. "Han, makan ... keburu dingin."

Hanna yang sedari tadi mendengarkan mereka berdebat pun langsung memakan mie-nya tanpa menjawab apapun, dia masih merasa malas untuk mengangkat pembicaraan.

Lebih tepatnya, dia masih merasa kalau hatinya belum tegar sepenuhnya. Beberapa saat yang lalu, setelah mereka sampai di panti jompo lama dan bertemu dengan kakeknya adalah pukulan telak yang cukup menyakitkan.

"Kakek?" Hanna menangkap sosok pria tua yang dia kenali.

"Kakek ... baik-baik aja?" sorot mata Hanna memancarkan kekhawatiran yang dalam, menelisik setiap sudut dari pria tua di depannya. Memeriksa keadaan sang kakek lewat penglihatannya.

"Kakek?" tanya bu Lili yang tidak jauh dari Hanna, menghampiri pria tua itu. "Kakek tidak kenapa-kenapa, kan?"

"Aku baik, Lili. Bisakah kau suruh pergi orang-orang ini, mereka menggangguku."

Dan detik itu, luruh sudah rasa khawatir Hanna. Tergantikan dengan rasa sakit yang teramat dalam, penolakan yang tidak bisa dia sangkal.

Hingga egonya tidak bisa lagi membendung tangis, hatinya seakan berubah jadi se-rapuh dan selemah itu. Ya, semenjak bertemu dengan kakek, kehidupan Hanna yang seperti batu dengan hati yang sekeras baja, kini berubah menjadi rapuh dan tak berdaya.

Kerap kali dia merasa takdir terlalu kejam, kehidupan terlalu keras. Hanna jadi mudah menangis dalam setiap hal, tapi dia kerap kali menahannya di hadapan orang lain.

Entah efek dari 'Hypophrenia' itu benar atau tidak, namun hatinya kerap kali teriris sekalipun itu mengenai hal-hal kecil, merasa sedih tanpa adanya alasan yang jelas. Dan, ketika satu kata keluar dari mulutnya, mata pun ikut bersua dengan tangisnya.

Hal yang dia selalu sepelekan, kini berubah jadi hal yang cukup sensitif. Seperti ingin sarapan roti, namun tidak ingat kalau roti yang dia mau sudah habis kemarin. Atau, ingin meminum kopi, tapi kompor habis gasnya untuk memanaskan air.

Hal sekecil itu, dapat membuat Hanna stress dan ingin tersedu sedan, meratapi nasib yang entah salah siapa.

Berusaha menguatkan diri, dengan sekuat tenaga menguasai dirinya. Hanna menghela napas panjang saat mangkuk mie-nya terasa tidak habis-habis, seakan terus bertambah dan sangat memuakkan.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang