IX - Hope and ruin?

64 29 25
                                    

Episode 09

Ketika kamu menemukan kebahagiaan, tapi perlu mencari cara untuk bisa digenggam dengan benar.

▪️💠▪️

Di hari Sabtu malam Minggu ini, Hanna sedang berjalan dari toko ke rumah sewanya. Menyusuri jalanan Bandung yang dibantu oleh penerangan lampu-lampu besar, bersenandung kecil mengikuti irama dari earphone yang dia kenakan.

Hembusan angin membuat langkah terburu-burunya bersuara nyaring, dingin menyeruak hingga tak ada lagi jeda untuk hangat selain jari telunjuk dan jari tengahnya yang menghimpit sebatang rokok.

Hanna beberapa kali menarik napas panjang, sekalipun jalanan terdengar senyap, kepalanya justru sedang perang saudara dengan hati dan pemikiran.

Sudah hampir dua Minggu ini dia tidak pekerja di restoran, mengambil cuti yang sudah lama tidak dia ambil selama 4 tahun terakhir. Kini dia fokus pada toko kuenya, dari rebun hingga menjelas sore.

Dan hari ini, lebih tepatnya tadi pagi-pagi sekali dia sudah berangkat ke desa, mengunjungi kakeknya untuk ke sekian kalinya. Berbekal kue yang dia buat sendiri, pergi tanpa ditemani Jenni. Kebetulan Jenni sedang ada urusan dengan sang pacar, alhasil Hanna berangkat sendirian.

Di panti jompo lama, seperti pertemuan pertama, kakeknya tidak mau bertemu sama sekali dengan Hanna. Seakan tidak ada harapan untuk hubungan mereka, kakek Sanjaya terus menolak kehadiran Hanna.

Hanna menyeret kursi ke depan kamar nomor itu 07, duduk menyenderkan tubuhnya di sana dengan kotak kue di atas paha. Menunduk dalam, Hanna perlahan membuka kotak kue itu.

"Kakek, kata ibu panti Kakek di dalam. Kakek masih tidak mau bertemu dengan Hanna?" lirih Hanna beberapa kali mengetuk pintu, bersahut-sahutan dengan suaranya sendiri.

Hanna sedih, perasaannya mudah berubah semenjak bertemu dengan kakek. Hanna menjadi lebih sensitif dan perasa, hingga kerap kali tidak bisa menahan tangisnya.

"Kakek ... Hanna bawa kue buat Kakek, Hanna membuatnya sendiri, Kek. Kakek tahu, Hanna menyewa tempat untuk membuat toko kue itu," Hanna meletakkan tangannya di gagang pintu, "Hanna sangat merindukan Kakek ...."

Beriringan dengan helaan napas berat, Hanna melepaskan tangannya dari gagang pintu tua itu, mengurungkan niat untuk membukanya.

Hatinya teriris, perih ketika menghadapi kenyataan kalau sang kakek tidak mau ditemui.

Hanna terdiam, ada perasaan yang sangat menyakitkan di dalam hatinya. Namun sang otak tidak menerima itu, lantas kembali menegaskan hati.

"Kakek ... Hanna akan sering-sering ke sini, Kakek mau Hanna bawakan apa? Semoga Kakek sehat-sehat, ya, Hanna di sini baik-baik saja."

Hanna menutup lagi kotak kue yang dia bawa, menarik secarik surat di sana. Kemudian, dia berdiri dari kursi yang dia duduki, mengembalikan kursi itu ke pinggir pintu, menaruh kotak kue di atasnya.

Helaan napas dalam diambil Hanna untuk menetralisir perasaannya.

"Kue-nya Hanna simpan di sini, ya, Kek. Jangan lupa di makan," pesan Hanna lantas melenggang pergi.

Bersama dengan langkah pertamanya, air mata mengalir di pipi putih milik Hanna.

Sekalipun dirinya kecewa, namun tidak mengapa, setidaknya dia masih bisa mencoba. Mendapatkan lagi Kakeknya. Mendapatkan lagi rasa kebersamaan yang dia harapkan dari penantian panjang.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang