X + RAGA YANG TAK NYATA

65 30 23
                                    

Episode 10

Kita adalah manusia yang sama-sama rapuh.

▪️💠▪️

Keributan terdengar dari gedung lama tempat tinggal para orang tua yang dititipkan oleh anak-anaknya--para orang tua yang sudah tidak bisa lagi merasakan berkumpul bersama cucu-cucu mereka, orang-orang tua yang hanya menunggu ajal menjemput di sisa usia mereka, yang bergantung satu sama lain untuk sekadar berjalan dipapah tongkat dan duduk bergerak di atas kursi roda yang sama-sama tuanya. Asap mengepul dari arah belakang gedung, dihempas angin sepoi-sepoi hingga sampai ke kampung sebelah.

Wajah-wajah polos seperti bayi itu nampak sangat panik, tergopoh dengan susah payah berjalan keluar dari gedung yang mereka sebut sebagai rumah. Mulut tanpa giginya terus saja berbicara dengan cadel, ada juga yang dibantu oleh gigi palsu, mengomeli api yang tidak memiliki telinga.

Tidak ada yang tidur lelap, semuanya ricuh dan tidak terkondisikan. Hawa panas sampai pada ruang depan, memberikan sensasi sauna dengan asap tebal. Para orang tua nampak sedang digiring oleh para penjaga dan pengasuh, dituntun dengan hati-hati supaya langkah mereka tidak menimbulkan luka.

Sementara itu, seorang pria tua duduk di bangku yang terletak tidak jauh dari pohon mangga, menelisik pemandangan yang berupa tragedi berapi di matanya. Arah pandang kakek tua itu kontras dan jelas mencakup rumah tua, tempat 3 tahun terakhir ini dia tinggal. Namun, tidak akrab dengan siapapun, cenderung sendirian dan terlihat kesepian.

Nyatanya, setiap orang memang seperti itu. Sosialisasi adalah bentuk dari manipulasi yang cukup melelahkan, dan pria tua itu tidak mau merepotkan dirinya sendiri.

Namun tidak dipungkiri, di sisi lain manipulatif-nya kehidupan, ada wadah untuk relung kesepian. Bukankah ada saatnya ketika kita sendirian dan sangat membutuhkan teman?

Ya, hal kecilnya seperti kucing yang selalu berkeliaran di panti jompo lama itu. Si kucing cantik dengan bulu berwarna putih itu senang sekali diajak ngobrol oleh penghuni panti, meminta perhatian untuk dibelai, juga menunjukkan mata berbinarnya untuk menarik hati orang supaya diberi makan.

Hanya teman.

Sekalipun kucing itu sangat menarik perhatian dan disukai banyak orang, dia hanya akan mengikuti para orang tua yang sudah dekat dengan waktu istirahatnya. Sangat pemilih, tapi dia adalah teman yang baik.

Kita tidak membutuhkan orang yang berkomentar balik tentang kehidupan, kita hanya butuh 'teman'. Orang untuk mendengarkan.

Kadang sesederhana itu.

Namun, susahnya bukan main lagi. Kehidupan terus berbuat kejam, cerita-cerita rumit, dan orang mati rasa adalah manusia yang paling menderita. Korban atas segalanya.

Tatap kosong, tidak ada senyum dan tangis, tidak merasa senang ataupun sedih. Hampa. Disuruh ke sana ya ke sana, disuruh kemari ya menghampiri.

Tidak menarik.

Kehidupan tidak lagi menarik di netra abu-putihnya.

Patung hidup berupa jelmaan manusia tua yang satu itu sudah dikenal oleh banyak orang, dengan tatapannya yang tajam, katanya yang tanpa basa-basi, juga tongkatnya yang selalu melayang kala ada orang yang mengganggu 'kesepiannya'.

Matanya berkeliaran malas, di malam yang dingin ini dia merasa gerah. Kakek tua itu melirik ke kanan, di sana banyak rekan sebayanya yang tinggal di panti jompo, sedang diberi minum dan disuruh berehat.

Badan tua dan renta tidak sanggup untuk tragedi berbahaya lagi, untuk jalan sendirian pun mereka membutuhkan pengasuh atau alat bantu. Apalagi ini, harus berlari tergopoh dengan ancaman dibakar api hidup-hidup. Ancaman yang sungguh tidak berprikemanusiaan sekali.

Sirine mobil pemadam kebakaran mulai terdengar mengiang, menusuk-nusuk telinga dengan jeritan nestapa. Langkah-langkah terburu para petugas berbaju merah itu tak luput dari pandangan si kakek tua, mereka membawa selang air dan menyemburkannya ke arah api besar.

Gagah dan pemberani, di kakek tua kembali mengingat masa lalunya.

Kala tubuhnya masih bisa menopang sang cucu naik ke daratan, bertahan dari deburan air yang tidak bersahabat. Namun, di saat yang sama, kakinya terluka. Hanyut, tubuhnya mengikuti arus sungai yang deras.

Bertahan hidup dengan susah payah, hingga akhirnya dia menghela napas panjang. Kakek tua itu masih hidup sampai sekarang.

Tapi, semenjak kejadian itu, jiwanya jadi kosong, raganya hanya tinggal raga, ruhnya menjadi hampa.

Dunianya tidak lagi berwarna, kelabu hingga nampak sendu.

Sorot mata tajam itu menyimpan relung hampa yang kesepian, kepedihan, juga penderitaan.

Entah siapa yang bertanggungjawab atas semua ini, tapi takdir sudah tergaris dengan ridho Tuhan yang maha adil.

Sekalipun menanggung semuanya sendirian, hidup yang keras penuh dengan pukulan tetap harus berjalan.

"Kakek! Dimana kamu, Kek?!"

Teriakan itu memecah lamunan yang melanglang buana, mata pria tua itu mencari pelaku kebisingan yang tidak tahu diri. Bergerak dengan cepat namun malas.

"Bu, dimana kakek saya? Saya tidak menemukan dia bersama dengan orang tua yang lain!"

"Kami sedang mencarinya juga, Mbak, mari kita cari lagi."

Percakapan dari jauh terdengar sayup-sayup di telinga Kakek tua yang masih tajam itu, kerusuhan ini membuatnya muak dan lelah. Suara itu sangat dia kenali setelah beberapa kali didengar dengan seksama, suara yang selalu lirih itu terdengar khawatir.

Si kakek tua masih mengamati dengan baik, langkah tergesa anak muda yang pasti sedang mencarinya.

"Dimana, sih, kakek?! Jenni, apa dia masih di dalam?"

"Hah? Gak mungkin, kata Bu Panti tadi di dalam sudah tidak ada siapa-siapa, Hanna."

"Engga, Jen. Aku takut kakek masih di dalam! Aku akan masuk!"

"No! Jangan bodoh, Hanna. Di dalam berbahaya!"

"Tapi, Jen ...."

"Kakek?" ujar Ibu Lili membuat Hanna dan Jenni terdiam, sama-sama melihat ke arah pandang pengurus panti itu.

"Kakek?!" Hanna langsung berlari menghampiri kakek tua yang tengah duduk santai di bawah pohon mangga, tempat yang strategis untuk menonton drama tragedi nyata ini semua.

"Kakek ... baik-baik aja?" tanya Hanna memelankan langkahnya setelah jarak dari kakek tua yang dia tuju hanya 2 meter.

Deru napas keduanya diredam hati dingin, pikiran yang berkecamuk.

Saling pandang, terdiam.

Tidak ada kata-kata ataupun tanya, hanya sebatas jiwa yang sama-sama rapuh di dalam raga yang tak nyata utuh.

"Sorot mata macam apa itu, Nak?"

▪️💠▪️

(Never For 'Ever')//WP. Vjey28.

Bagaimana jadinya ketika kita bertemu dengan tatap mata yang sama-sama rapuh, sama-sama menyimpan kesedihan yang tidak bisa diungkapkan?

I don't know, You know?

-V_Jey
Bandung, 01 Mei 2024.

NEVER For 'EVER'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang