Episode 22
Hidup ini memang seperti lomba, siapapun pesertanya, sudah jelas siapa pemenangnya. Bukan aku.
▪️💠▪️
Hanna duduk diam di atas motor Zein yang entah akan membawanya kemana, terus melaju tanpa memberi tahu tempat apa yang laki-laki tuju.
Semilir angin senja terasa sejuk, jalanan Bandung pun tidak terlalu ramai. Motor Zein berlomba dengan sehat dengan beberapa pengendara lain, menyalip dan terus begitu sampai hilang ditelan tikungan.
Kali ini mereka berada di jalan simpang Dago, menuju ke arah Gasibu. Zein mulai memelankan laju motornya kala tidak mendengar suara apapun dari gadis yang dia bonceng.
"Nona?" tanya Zein.
"Apa?"
"Jangan tidur."
"Engga!"
Percakapan singkat itu beriringan dengan terparkir-nya motor Zein di pinggir jalan, tepat berada di depan gerbang bercat putih. Laki-laki itu melepaskan helm dan melihat ke arah belakang.
"Kita jalan-jalan sebentar di sini, gimana?"
"Terserah Zein, saya ikut aja."
"Okei. Ya udah, ayo, mau turun gak?"
"Ish! Iya!"
Hanna kemudian turun dari motor dan ikut melepas helm, lebih tepatnya itu adalah helm milik Jenni yang gadis itu pinjamkan supaya Hanna aman diperjalanan.
Mereka berdua pun pergi meninggalkan motor kepada seorang penjaga parkir yang sering berada di sana, kemudian masuk ke dalam gerbang besar yang langsung disuguhkan dengan Monumen Perjuangan Rakyat kota Bandung.
"Nona," panggil Zein kala dia ditinggalkan beberapa langkah oleh Hanna.
"Hm?"
"Coba tebak, apa bedanya kamu sama Monumen?" tanya Zein membuat Hanna tidak melanjutkan langkahnya, dia melihat ke sebelah kiri. Monumen yang gagah berwarna putih bak dikelilingi perisai itu sangat indah, kokoh dan berkarisma. Apa bedanya dengan Hanna? Toh sama-sama cantiknya.
"Apa?" tanya Hanna sambil melirik Zein.
"Kalau monumen ini dibuat khusus untuk mengabadikan perjuangan, kalau Nona itu untuk aku perjuangkan," gombal Zein sambil nyengir kuda.
Hanna tercengang dengan Zein yang nampak selalu stay absurd, bisa-bisanya kepikiran sampai sana.
"Zein, please ... saya mau muntah."
"Ih, ko muntah? Jangan dong!"
Zein berlari kecil mengejar Hanna yang sudah jalan duluan, mereka berjalan melewati taman dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sepanjang perjalanan Zein sibuk mencari topik untuk perbincangan mereka berdua, sedangkan Hanna hanya mengikuti alurnya saja.
"Nona, kalau aku mah beli Gedung Sate boleh gak?" tanya Zein sambil menunjuk ikon kota Bandung yang masih jauh dari pandangan mereka.
Hanna mengerutkan kening, mencoba untuk bersabar dengan setiap kata yang dilontarkan oleh teman bicaranya.
"Zein, sekalipun kamu kaya, buat apa beli Gedung Sate?" tanya Hanna dengan nada malas.
"Ya kan enak, Nona."
"Terserah kamu, Zein. Pusing saya," keluh Hanna langsung duduk di bangku taman.
Dia melihat senja yang masih menemani perjalan mereka berdua, senja yang nampak sama setiap harinya saat Hanna memerhatikan dengan seksama. Senja yang belum menemukan rumahnya.
"Nona," panggil Zein yang langsung membuat Hanna berpaling kepada orang yang memanggilnya.
Mata Hanna membulat saat Zein sudah dalam posisi berjongkok menghadapnya, memegang setangkai bunga tulip merah yang entah kapan dia membawa benda itu.
"Kata ibunya Lukman, bunga tulip merah menggambarkan cinta yang sangat dalam dan menggebu-gebu. Nona mau tidak bertemu dengan ibunya Lukman? Beliau orang yang sangat baik," ujar Zein dengan senyum yang terulas di wajah baby-nya.
Hanna masih terdiam seribu bahasa, kebingungan sendiri atas apa yang dilakukan Zein sekarang.
"Nona, aku mencintaimu. Kalau perlu, aku bisa menjadi senjamu yang indah ... jadi, mau tidak kamu mempertimbangkan aku?"
Hanna menelisik setiap gerak tubuh Zein, menerawang mata bulatnya yang penuh pengharapan.
"Zein, aku mau ketemu ibunya Lukman."
▪️💠▪️
"Apa? Kamu serius?!"
"Iya, Nyonya. Saya serius, seperti yang sudah saya sampaikan melalui chat beserta barang buktinya."
"Haduh, anak ini, cari masalah saja!"
Seorang wanita lansia sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya, menerima laporan dari Intel yang dia sewa untuk mencari tahu tentang keadaan sang cucu tercinta.
"Tapi dia tetap kuliah 'kan?"
"Iya, Nyonya. Dia kuliah seperti biasa, sesuai dengan jadwal."
"Bagaimana cara untuk bilang pada orang tuanya? Astaga, anak itu membuatku pusing saja. Pergilah, tetap awasi cucuku yang nakal itu."
"Baik, Nyonya."
▪️💠▪️
-V_Jey
Bandung, 20 Mei 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEVER For 'EVER'
ChickLit💠💠💠 (Sensor: 17+, untuk muda-mudi. Bukan balita!) Bagaimana rasanya dicintai dengan cara ugal-ugalan? Ini cerita tentang seorang wanita bernama Hanna Sanjaya yang dicintai oleh cogil kuliahan---Zein Aksama Putra dengan cara luar biasa. Kamu akan...